Oleh: Setia Dharma, S.H.
Seorang Rekan pernah bertanya padaku, dalam pertemuan
yang tidak disengaja di salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta, ia menanyakan “Apakah
memohonkan Sita Jaminan terhadap harta Tergugat itu harus?”, tentu saja
jawabannya “tidak harus”, karena sangat tergantung pada apa sengketamu. Tapi
tentang Sita Jaminan mungkin bisa difahami sedikit dari tulisan singkat ini.
Sita Jaminan pada hakikatnya adalah menjamin
kepastian hukum atas hak Penggugat dan melindungi Penggugat dari itikad tidak baik Tergugat ketika gugatan Penggugat dikabulkan, dengan kata
lain, Sita Jaminan dilakukan untuk menahan harta Tergugat agar ada dalam
penjagaan hukum dan tidak dijual atau dialihkan oleh Tergugat kepada pihak lain,
sehingga ketika Tergugat dinyatakan kalah oleh Pengadilan dan harus membayar
jumlah tertentu atau melepaskan hak tertentu, maka Sita Jaminan telah tersedia
dan sah sebagai jaminannya. Menurut Yahya Harahap, sita merupakan tindakan yang didasarkan
atas perintah pengadilan untuk menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa
berada ke dalam keadaan penjagaan selama dalam proses pemeriksaan pengadilan
sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan
tujuan utama agar harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain
melalui jual-beli, hibah dan sebagainya.
Mengenai tujuan pokok penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan
pokok penyitaan. Pertama, agar terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk
tergugat, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak
hampa (illusoir). Serta sekaligus
memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila putusan
berkekuatan hukum tetap”. Dilihat dari tujuan pokok tersebut,
dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum dan
perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya hak
penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya.
Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau 720 RV, maupun berdasarkan SEMA
No.5 Tahun 1975, sita jaminan tidak dapat ditetapkan dan putuskan oleh hakim tanpa
adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita atas harta/benda baik
bergerak mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini merupakan penerapan salah
satu asas dalam hukum acara perdata, bahwa hakim bersifat pasif. Artinya, hakim
tidak bisa memutus atau menetapkan tentang sesuatu hal tanpa diminta oleh
penggugat.
Dengan kata lain sita jaminan yang dilakukan terhadap harta tergugat
haruslah berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penggugat kepada ketua
pengadilan negeri dimana kasus tersebut disidangkan, pengajuan sita jaminan
diatur dalam Pasal 127 (1) HIR, yang intinya menyatakan bahwa sita jaminan
dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada
putusan, tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan.
Sita hanyalah sebatas penjagaan benda/harta tergugat sebagai jaminan
semata tanpa bisa dieksekusi jika tidak dilandasi dengan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Artinya, perlu putusan pengadilan yang memenangkan
penggugat untuk dapat dilakukannya eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan
ketentuan bahwa sah dan bergunanya sita dinyatakan dalam amar putusan pokok
perkara serta dikeluarkannya surat penetapan sita dari Pengadilan Negeri di mana
perkara telah si sidangkan. Secara prosedural eksekusi dapat dilaksanakan
dengan telah dipenuhinya ketentuan-ketentuan hukum mengenai eksekusi
benda/harta sitaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar