Oleh:
Nining Ratnaningsih, S.H.
Pemberlakuan hukuman mati dapat
dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kontroversi yang terjadi ditimbulkan
oleh adanya pihak yang pro dan kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati ini.
Terlepas dari kontroversi tersebut, hukuman mati merupakan hukuman pokok yang
disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain hukuman penjara,
kurungan, dan denda.[1]
Hukuman mati di Indonesia diatur
dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan
hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara,
hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari : pencabutan
hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Tata
cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU no. 2/PnPs/1964 yang dipedomani
sampai saat ini.
Di dalam KUHP terdapat beberapa
pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan
keamanan negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 111
ayat (2) tentang melakukan hubunga dengan negara asing hingga terjadi perang,
pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang, pasal 124 (bis)
tentang menghasut dan memudahkan terjadinyahuru-hara, pasal 140 ayat (3)
tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, pasal 149 k ayat
(2) dan pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan sarana
penerbangan dan pasal 444 tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu
yang mengakibatkan luka berat atau mati.24
Dalam perkembangan kemudian,
terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu UU No.
22 /97 tentang Narkotika, UU No. 5 /97 tentang Psikotropika, UU No. 26 /2000
tentang peradilan HAM, UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan
Korupsi dan UU No. 1/ 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.25
Di luar KUHP, pidana mati sering
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi (Undang-Undang Nomor
11/PnPs/1963) dan pelaku tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976). Setidaknya dalam kurun waktu 1992 – 1997 sejumlah lebih kurang 12 orang
telah dijatuhi hukuman mati karena melakukan tindak pidana pembunuhan,
pencurian dengan kekerasan, narkotika dan subversi.
Alasan mempertahankan pidana mati
karena berbagai produk telah menetapkan secara eksplisit ancaman maksimal
pidana mati, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika,
Undang-Undang Terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM.
Dalam membaca UUD 1945 tidak bisa sepotong-sepotong,
tetapi harus secara utuh. Memang menurut pasal 28 huruf (A) UUD 1945
menyebutkan : “Hak setiap orang untuk hidup”, akan tetapi jika dibaca isi pasal
28 huruf (J) UUD 1945 secara eksplisit mengatakan :”kebebasan setiap orang
harus dibatasi oleh Undang-Undang”. Isi lengkap pasal 28 huruf (J) UUD 1945
tersebut antara lain :[2]
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang denga maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain
dan untuk memenuhi tuntutanyang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan
3. ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Itu berarti, bahwa penerapan pidana mati di berbagai undang-undang adalah
merupakan pengejawantahan dari UUD 1945.
Di dalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik
dalam KUHP Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada dan
tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah diatur
dengan jelas. Maka dari sudut hukum (legalistic) tidak ada hal yang harus
diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam,
tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat.
Dalam menyikapi tentang pemberlakuan hukuman mati bagi
pelaku perbuatan kriminal, ada dua kelompok yang berbeda pendapat dan saling
bertolak belakang. Kelompok yang pertama yaitu kelompok yang tidak setuju
terhadap pemberlakuan hukuman mati. Alasan kelompok ini bahwa
1.
Tujuan dari pemidanaan disamping
melindungi masyarakat juga memperbaiki individu yang telah melakukan tindak
pidana. Jadi jika
hukuman mati diterapkan, akan sangat bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu
sendiri.[3]
3.
Tugas negara adalah melindungi warga
negaranya. Jadi dalam
kondisi apapun negara berkewajiban mempertahankan nyawa warga negara. Jika
tidak sanggup melindungi nyawa warga negaranya, hal itu akan sangat merendahkan
kewibawaan negara sebagai abdi dan pilindung masyarakat.[5]
4.
Sebagian pendukung kelompok ini juga berpendapat bahwa hukuman mati tidak
menjamin tindak kejahatan tersebut dapat hilang. Kenyataan yang terjadi setelah
pidana mati tersebut diterapkan masih banyak orang yang melakukan tindak pidana
yang diancam dengan hukuman mati.[6]
5.
Hukuman mati bersifat abadi, artinya apabila telah dilaksanakan, maka
tidak bisa dirubah. Jika ternyata kemudian bahwa keputusan tentang hukuman
tersebut tidak mempunyai dasar yang benar (salah) maka orang tersebut sudah
terlanjur meninggal.[7]
Kelompok yang kedua adalah
kelompok yang setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati. Kelompok ini
mengaitkan pemberlakuan hukuman mati dengan tiga tujuan hukum, yaitu :[8]
1.
Keadilan.
Dari aspek
keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang
dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll).
2.
Kepastian
hukum.
Dari aspek kepastian hukum yaitu ditegakkannya hukum yang
ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang
tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan, tetapi kenyataan yang dapat
diwujudkan dengan tanpa pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting
bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak
dijatuhi vonis mati pada tingkat pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh
presiden.
3.
Manfaat atau
kegunaan.
Dari aspek manfaat atau kegunaan hukuman mati akan membuat
efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga
dapat memelihara wibawa pemerintah.
Berkaitan dengan
hak asasi manusia kelompok ini mengemukakan bahwa hak asasi juga mengandung
kewajiban asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban, yaitu hak melaksanakan
kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak, hak seseorang dibatasi oleh kewajiban
menghargai dan menghormati hak orang lain. Apabila seseorang telah dengan
sengaja menghilangkan hak hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup itu bukan
sesuatu yang perlu dipertanyakan dan dibela.
Selain di
Indonesia, masih ada negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Prancis
yang mencantumkan hukuman mati di dalam undang-undang hukum pidananya. Belanda
sendiri yang merupakan negara asal dari hukum pidana yang berlaku di Indonesia
dewasa ini, sudah sejak lama menghapuskan pidana mati ini dari undang-undang
hukum pidananya. Sejak tahun 1870 KUHP Belanda telah
tidak lagi mencantumkan pidana
mati.[9]
Karena penerapan pidana mati telah
mempunyai legitimasi konstitusional, maka pemberlakuan hukuman mati di
Indonesia pun tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terpidana mati, sebab
kriteria atau unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity) telah secara eksplisit diatur dalam pasal 9 UU No. 26 tentang
Pengadilan HAM.[10]Tindak
kejahatan pembunuhan, narkoba, terorisme adalah perbuatan yang merusak apa yang
harus dan wajib dipelihara. Maka hukuman yang tepat bagi
pelakunya adalah hukuman mati.
[1]Abdu Al Qodir Audah, Al Tasyri’ Al Jana’iy Al
Islamy juz 1, Dar Al Katib Al Araby, Beirut, tt., hlm. 2.
24 Bambang Waluyo, Pidana Dan
Pemidanaan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 13.
[3]Andi Hamzah, Pidana Mati Di
Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984). hlm. 36.
[4]Zamhari Abidin, Pengertian Dan Asas Hukum Pidana
Dalam Schema Dan Synopsis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). hlm. 89.
[9]Harmien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam
Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm.
23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar