Rabu, 12 Oktober 2016

TEORI PEMIDANAAN

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).[1]Di bawah ini akan diuraikan mengenai teori Absolut atau Teori Pembalasan, dan untuk teori-teori selanjutnya akan dibahas dalam tulisan berikutnya.

1.    Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder.
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law.[2]Bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharunya menerima ganjaran seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarkat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut: “Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.[3]
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.
Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.[4]Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan:
“Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.”[5]
Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku tindak pidana itu mempunyai lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap menjadi lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan untuk melakukan tindak pidanakembali.
Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:[6]
a.         tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
b.         pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;
c.         kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;
d.        pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;
e.         pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

Dalam konteks sistem hukum pidana Indonesia, karakteristik teoripembalasan jelas tidak sesuai (bertentangan) dengan filosofi pemidanaanberdasarkan sistem pemasyarakatan yang dianut di Indonesia (UU No. 12 Tahun1995). Begitu juga dengan konsep yang dibangun dalam Pasal 54 ayat (2) RUU KUHP, yang secarategas dalam hal tujuan pemidanaan disebutkan, bahwa “Pemidanaan tidakdimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia."



[1]E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), hlm. 157.
[2]Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992),hlm. 11.
[3]Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hal. 26.
[4] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1994), hal. 31.
[5] J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni,1979), hlm. 149.
[6]Muladi dan Arief, Op. cit, hlm. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar