Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,
Mengenai
teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar,
yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), teori
relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings
theorien).[1]Di
bawah ini akan diuraikan mengenai teori Absolut atau Teori Pembalasan, dan
untuk teori-teori selanjutnya akan dibahas dalam tulisan berikutnya.
1. Teori
Absolut atau Teori Pembalasan
Menurut teori ini pidana dijatuhkan
karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana sebagai akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri. Seperti dikemukakan
Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori absolut ialah
untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah
sekunder.
Tuntutan keadilan yang sifatnya
absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam bukunya Filosophy of Law.[2]Bahwa
pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat.
Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah
melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharunya menerima ganjaran seperti
perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota
masyarkat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.
Mengenai teori pembalasan ini, Andi
Hamzah mengemukakan sebagai berikut: “Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana
tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan
itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana
secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan
manfaat penjatuhan pidana”.[3]
Apabila manfaat penjatuhan pidana ini
tidak perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau
teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah
balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya
berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai
kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si
pelaku kejahatan.
Teori pembalasan atau absolut ini
terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif
ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah
pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan pelaku di dunia luar.[4]Mengenai
masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan:
“Oleh karena itu, apabila pidana itu
dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka
belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu
ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia
menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku
dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.”[5]
Berat ringannya pidana bukan merupakan
ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah
jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat.
Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk
melakukan tindak pidana kembali. Oleh karena itu usaha untuk menyadarkan
narapidana harus dihubungkan dengan berbagai faktor, misalnya apakah pelaku
tindak pidana itu mempunyai lapangan kerja atau tidak. Apabila pelaku tindak
pidana itu tidak mempunyai pekerjaan, maka masalahnya akan tetap menjadi
lingkaran setan, artinya begitu selesai menjalani pidana ada kecenderungan
untuk melakukan tindak pidanakembali.
Ada beberapa ciri dari teori
retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:[6]
a.
tujuan
pidana semata-mata untuk pembalasan;
b.
pembalasan
merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain,
misalnya kesejahteraan rakyat;
c.
kesalahan
merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;
d.
pidana
harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;
e.
pidana
melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak
untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar.
Dalam
konteks sistem hukum pidana Indonesia, karakteristik teoripembalasan jelas
tidak sesuai (bertentangan) dengan filosofi pemidanaanberdasarkan sistem
pemasyarakatan yang dianut di Indonesia (UU No. 12 Tahun1995). Begitu juga
dengan konsep yang dibangun dalam Pasal 54 ayat (2) RUU KUHP, yang secarategas
dalam hal tujuan pemidanaan disebutkan, bahwa “Pemidanaan tidakdimaksudkan
untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar