(Part.3)
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,
Berikut
ini, akan diuraikan mengenai teori gabungan (verenigings theorien)
sebagai bagian dari teori pemidanaan sebagai berikut:
3.Teori
Gabungan
Menurut
teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori
ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif)
sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut
memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :[1]
i. Kelemahan
teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman
perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak
harus negara yang melaksanakan.
ii.
Kelemahan
teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana
ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya
untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti
sulit dilaksanakan.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat
di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak
dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk
mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan
pidana penjara merupakan:
a. mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
b. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c.
menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d.
membebaskan
rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana.
Teori integratif dapat dibagi menjadi
tiga golongan, yaitu:[2]
a. Teori integratif yang
menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang
perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang
menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh
lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap
harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.
Dengan demikian pada
hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan
pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh
juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana
diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu
proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam
masyarakat.[3]
Dalam konteks itulah Muladi
mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan
pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan
dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang
mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka
tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang
diakibatkan oleh tindak pidana.
Perangkat tujuan pemidanaan tersebut
adalah: (a). Pencegahan (umum dan khusus), (b). Perlindungan masyarakat, (c).
Memelihara solidaritas masyarakat, (d). Pengimbalan/pengimbangan.[4]Selanjutnya
Van Bemmelen menyatakanpidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan
masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana
dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke
dalam kehidupan masyarakat.[5]
Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang
(RUU) Kitab Undang-undangHukum Pidana Tahun 2005, mengenai tujuan pemidanaan
diatur dalam Pasal 54,yaitu:
a. Pemidanaan bertujuan:
1)
Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normahukum demi pengayoman
masyarakat;
2)
Memasyarakatkan
narapidana dengan mengadakan pembinaan sehinggamenjadi orang yang baik dan
berguna;
3)
Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalammasyarakat, dan
4)
Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana,
5)
Memaafkan
terpidana.
b.
Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkanmartabat manusia.
Melihat
tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuanpemidanaan tersebut
sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspekpidana/pemidanaan dalam
kerangka tujuan pemidanaan tersebut denganmemperhatikan bukan saja rasa
keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harusmampu menganalisis relasi
timbal balik antara si pelaku dengan si korban.[6]
Dari
sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana danpemidanaan
sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwatujuan pidana dan
pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasansemata, atau untuk
pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat bahwa tujuanpidana dan
pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif.
Sehubungan
dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga Rdan satu D, yakni:[7]Reformation,
Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. reformasi
berartimemperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna
bagimasyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari
masyarakat,juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti
masyarakat ituakan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan
terhadap pelanggarhukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti
menjera ataumencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang
lain yangpotensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahatankarena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Menurut
Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:[8]
Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berartimenjauhkan
si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yangsama, sedangkan tujuan
sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsisebagai contoh yang mengingatkan
dan menakutkan bagi penjahatpenjahatpotensial dalam masyarakat. Kedua,
pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggappemidanaan sebagai
jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasipada si terpidana.
[1] Koeswadji, Op.cit, hlm. 11-12
[2] Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai
Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), hlm. 24.
[3] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hlm. 22.
[4] Muladi, Op.cit, hlm. 61.
[5] OemarsenoAdji , Hukum Pidana,(
Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 14.
[6] J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,
Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hlm. 22.
[7] Andi Hamzah, 1994, Op. cit, hlm. 28.
[8]Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide
Dasar Double Track System &Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar