(Part. 2)
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,
Bahwa
mengenai teori pemidanaan telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya yakni
terdiri dari tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien),
teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan
(verenigings theorien).[1]
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai teori relatif atau tujuan (doel
theorien) sebagai berikut:
2. Teori Relatif
atau Teori Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan juga
disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara
garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan,
akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana
dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :[2]
i.
Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de
maatschappelijke orde);
ii.
Untuk
memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari
terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad
onstanemaatschappelijke nadeel);
iii.
Untuk
memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
iv.
Untuk
membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
v.
Untuk
mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).
Tentang teori relatif ini Muladi dan
Barda Nawawi Arief menjelaskan,bahwa:
“Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi
mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun
sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar
pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat
kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan
kejahatan).”[3]
Jadi tujuan pidana menurut teori
relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak
terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan
bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban
umum.
Filosof Inggris Jeremy Bantham
(1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat dijadilan landasan dari
teori ini. Menurut Jeremy Bentham bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional
yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh
karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa
sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh
kejahatan. Mengenai tujuan-tujuan dari pidana adalah:[4]
a.
Mencegah
semua pelanggaran;
b.
Mencegah
pelanggaran yang paling jahat;
c.
Menekan
kejahatan;
d.
Menekan
kerugian/biaya sekecil-kecilnya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana,
teori relatif ini dibagi dua yaitu:a) prevensi umum (generale preventie);
b) prevensi khusus (speciale preventie). Mengenai prevensi umum dan
khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut: “Prevensi umum
bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar.
Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak
melanggar.”[5]
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan
pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan
penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat
lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus
menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan
mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik
dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan
beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:[6]
a. tujuan pidana adalah pencegahan
(prevensi);
b. pencegahan bukanlah pidana akhir,
tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu
kesejahteraan masyarakat;
c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum
yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau
culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. pidana harus ditetapkan berdasarkan
tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
e. pidana berorientasi ke depan, pidana
dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan
kejahatan untuk kepentingankesejahteraan masyarakat.
Selanjut Muladi dan Arief mengatakan
bahwa teori relatif (teori tujuan)berporos pada tiga tujuan utama pemidanan,
yaitu: Preventif, Deterrence, dan Reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia
dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan
banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis
kejahatan yang beragam.
Dari gambaran di atas, teori tujuan
ini juga tidak terlepas dari berbagai kelemahannya. Berkenaan dengan pandangan
Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih
secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena
kejahatan dilakukan dengan motif yang beragam. Tidak semua kejahatan dapat
dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia
melakukan tidak atas dasarrasionya tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat
sehingga mengalahkan rasionya. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat
diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan kejahatan dengan
motif emosional.
System hukum pidana Indonesia boleh
dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini terbukti dengan perkembangan
teori pemasyarakatan dan system pemasyarakatan yang kemudian diimplementasikan
dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan Pasal 54
Rancangan KUHP juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar