Selasa, 19 Mei 2015

"KESALAHAN" MENURUT HUKUM PIDANA

Oleh : Setia Dharma

Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan Remmelink mendefinisikan: “Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat- yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu- terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya”, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang dicela oleh umum, yang dipertegas oleh Jan Remmelink yakni berperilaku dengan menghindari egoisme yang tidak dapat diterima oleh kehidupan dalam masyarakat.

Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum positifIndonesia yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’. Artinya, untuk dapat dipidananya suatu perbuatan diharuskan adanya kesalahan yang melekat pada diri pembuat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban atasnya. Chairul Huda yang melihat kesalahan secara normati menyatakan: “Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya ia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. Definisi ini disusun oleh tiga komponen utama, yaitu: ‘dapat dicela’, ‘dilihat dari segi masyarakat’ dan ‘dapat berbuat lain’.”

‘Dapat dicela’ suatu perbuatan dapat diartikan sebagai ‘dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana’ dan ‘dapat dijatuhi pidana’. Arti pertama merupakan kesalahan dalam hubungannya dengan fungsi preventif hukum pidana dan arti yang kedua dalam hubungannya dengan fungsi represif dalam hukum pidana. Dapat dicelanya pembuat bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidana yang diteruskan secara subyektif sebagai celaan terhadap pembuat. Dalam hal ini celaan terhadap tindak pidana tidak terikat pada moral yang berarti dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, Negara tidak terikat pada sistem moral yang ada dalam masyarakat, tidak terikat pada pandangan ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘pantas’ dan ‘tidak pantas’ yang merupakan pandangan yang hidup dalam masyarakat sebagai ukuran ‘moral’ dan ‘tidak moral’. Walaupun lepas dari system moral yang ada dalam masyarakat, namun sebagi perbuatan tercela, pada hakikatnya tindak pidana selalu merupakan perbuatan yang secara moral dicela.

Selanjutnya untuk dinyatakan bersalah, suatu perbuatan harus dipandang dari segi masyarakat. Diuraikan oleh Chairul Huda sebagai berikut:

“’dilihat dari segi masyarakat’ merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Pada subjek hukum manusia, ‘ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan sebagaimana dalam keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada bagaimana penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dipernilai ada ataukah tidak ada kesalahan”…….”.

Persoalannya justru pada ‘penilaian normatif’ terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan tindak pidananya, sedemikian rupa sehingga orang itu ‘dapat dicela’ karena perbuatan tadi.Dengan kata lain sepanjang subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat. Jadi bukan psikologis yang penting, tetapi penilai normatif terhadap keadaan psikologis pembuat. Memang pengertian kesalahan normatif mengandung di dalamnya pengertian psikologis”.

‘Dapat berbuat lain’ dapat diartikan sebagai adanya pilihan bagi pembuat untuk ‘berbuat’ atau ‘tidak berbuat’ suatu perbuatan yang oleh hukum dicela. Pilihan ini menunjukkan adanya kemungkinan bagi pembuat untuk berbuat lain dan menghindari terjadinya tindak pidana, artinya ada kemungkinan untuk dapat menghindari perilaku menyimpang yang bertentangan dengan pandangan masyarakat. “kemungkinan dapat dihindari (terjadinya) perilaku menyimpang merupakan lapis pertama untuk menetapkan kesalahan…”. Perlu diingat, bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang melaku kesalahan. Artinya, kesalahan adalah unsur penting dalam pertanggungjawaban pidana, tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.

Jumat, 15 Mei 2015

TENTANG TEORI KAUSALITAS


Oleh: Setia Dharma


Setiap perbuatan menimbulkan akibat, baik akibat secara langsung maupun tidak langsung. Namun, tidak semua akibat menimbulkan hukum tertentu atau dengan kata lain tidak semua perbuatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum bisa ditimbulkan oleh satu perbuatan atau satu delik dan bisa juga ditimbulkan oleh beberapa perbuatan atau serangkaian perbuatan yang saling berhubungan dan saling mendukung untuk terjadinya suatu akibat. Misal:


L hamil diluar nikah dengan N, karena N tidak mau bertanggung jawab, maka L memutuskan untuk menggugurkan kandungannya kepada S yakni seorang bidan didaerahnya. Karena pendarahan hebat usai menggugurkan kandungannya, L dibawa kerumah sakit. Sesampai dirumah sakit, dokter yang seharusnya menolong L sedang mengisi sebuah seminar diluar lingkungan rumah sakit tersebut, sehingga L kehabisan darah dan mati.


Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat.

Suatu akibat yang dilarang dalam KUHP harus ditentukan sebabnya dan dimintai pertanggung jawabannya, oleh karena itu antara sebab dan akibat yang ditimbulkan haruslah memiliki hubungan kausal yang jelas, sehingga bisa dibuktikan bahwa akibat hukum yang terjadi benar-benar disebabkan oleh perbuatan pelaku yang dimintai pertanggung jawabannya

Penentuan sebab suatu akibat dalam hukum pidana adalah merupakan suatu hal yang sulit dipecahkan. Didalam kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), pada dasarnya tidak tercantum petunjuk tentang cara untuk menentukan sebab suatu akibat yang dapat menciptakan suatu delik. KUHP hanya menentukan dalam beberapa pasalnya, bahwa untuk delik-delik tertentu diperlukan adanya suatu akibat tertentu untuk menjatuhkan pidana terhadap pembuat, seperti misalnya pasal 338 KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Bahwa pembunuhan hanya dapat menyebabkan pelakunya dipidana apabila seseorang meninggal dunia oleh pembuat menurut pasal 338 KUHP tersebut.

Teori kausalitas atau ajaran sebab akibat, tidak hanya mengajarkan tentang kausalitas pada delik komisi, tapi juga mengajarkan kausalitas pada delik omisi.

Kausalitas disebut juga hubungan sebab akibat, dimana setiap akibat yang muncul harus ditentukan sebab dari akibat tersebut, yakni sebab yang memiliki hubungan kausal dengan akibat. Sehingga, bisa dimintai pertanggung jawabannya pada si pelaku.
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya “Asas-asas hukum pidana”, setiap kejadian alam maupun kejadian social tidaklah terlepas dari rangkaian sebab akibat, peristiwa alam maupun social yang terjadi adalah rangkaian akibat dari peristiwa lain maupun social yang telah terjadi sebelumnya. Setiap peristiwa social menimbulkan satu atau beberapa peristiwa social yang lain, demikian seterusnya, yang satu mempengaruhi yang lain, sehingga merupakan rangkaian sebab akibat.
Jadi, hubungan kausal yang ada, yang saling terkait dan saling mempengaruhi itulah yang yang disebut dengan kausalitas atau hubungan sebab akibat.

Untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana yang bisa dimintai pertanggung jawabannya, diperlukan ajaran sebab akibat. Dimana ajaran sebab akibat sangat berperan dalam hal menentukan unsur perbuatan yang menimbulkan akibat. Sehingga, dapat ditentukan hubungan antara akibat tertentu dengan perbuatan orang yang menimbulkan akibat. Dengan demikian, bahwa orang tersebut telah melakukan tindak pidana dan dituntut untuk dipertanggung jawabkan kepadanya.
Jadi, tujuan ajaran sebab akibat (causaliteitsleer) adalah :
1. Untuk menentukan hubungan antara sebab – akibat, yang berarti menentukan adanya atau tidak adanya tindak pidana.
2. Untuk menentukan pertanggung jawaban seseorangatas suatu akibat tertentu yang berupa suatu tindak pidana.

Demikian sekilas tentang teori kausalitas dalam hukum. Semoga jika ada kesempatan, akan saya uraikan sedikit mengenai macam2 teori kausalitas.

Jumat, 08 Mei 2015

ALAT BUKTI SURAT MENURUT HUKUM ACARA PIDANA


Oleh: Setia Dharma


Pengertian dari surat menurut hukum acara pidana tidak secara definitive diatur dalam satu pasal khusus, namun dari beberapa pasal dalam KUHAP tetang alat bukti surat, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat adalah) alat bukti tertulis yang harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.


Ada bebrapa jenis surat dalam hukum acara pidana, tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut :
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat / dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu, contoh : Akta Notaries, Akta jual beli oleh PPAT dan Berita acara lelang

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnyadan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan, contoh ; BAP, paspor, kartu tanda penduduk dll.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara respi darinya, contoh ; visum et revertum. Walaupun sering dikategorikan sebagai keterang ahli, namun visum et revertum juga dapat merupakan alat bukti surat, hal ini oleh yahya harahap disebut sifat dualisme alat bukti keterangan ahli) .
Walaupun banyak perpedaan pendapat mengenai visum et revertum ini, namun tidak mempengaruhi niali pembuktiannya sebagai alat bukti sah dipengadilan, baik ia sebagai alat bukti surat maupun keterangan ahli, yang jelas visum et revertum tidak dapat dihitung sebagai dua alat bukti.

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain, contoh ; surat-surat dibawah tangan.


Selain jenis surat yang disebut pada pasal 187 KUHAP, dikenal 3 (tiga) macam surat, sebagai berikut :
1. Akta autentik, adalah suatu akte yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di wilayah yang bersangkutan.
2. Akta dibawah tangan, yakni akte yang tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti.
3. Surat biasa, yakni surat yang dibuat bukan untuk dijadikan alat bukti.


Nilai pembuktian surat

Bahwa surat resmi/surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang pengadilan merupakan alat bukti surat sedangkan surat biasa mempunyai nilai pembuktian alat bukti petunjuk jika isi surat tersebut bersesuaian dengan alat bukti sah lain.


Kekuatan pembuktian surat

Alat bukti surat resmi/autentik dalam perkara pidana berbeda dengan perdata. Memang isi surat resmi bila diperhatikan dari segi materilnya berkekuatan sempurna, namun pada prakteknya terdakwa dapat mengajukan bukti sangkalan terhadap akta autentik tersebut.
Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudak terbukti kebenarannya dan bersesuaian dengan alat-alat bulkti lainnya.


CU On: alat bukti surat menurut Hukum acara perdata dan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.

Kamis, 07 Mei 2015

ALAT BUKTI SURAT MENURUT HUKUM ACARA PERDATA


Oleh:

Setia Dharma, S.H


Bukti surat atau tulisan adalah alat bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tertentu tentang suatu peristiwa, keadaan atau hal-hal tertentu dan ditandatangani, bukti tertulis tersebut lazim disebut akta.
Dengan demikian, bahwa bukti tertulis merupakan :
- suatu tulisan yang berisi keterangan-keterangan tertentu
- ditandatangani
- merupakan dasar sesuatu hak atau perjanjian


Jenis surat

Berdasarkan Pasal 1867 BW, bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan -tulisan autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan. Jadi, akta itu terdiri dari 2 jenis yaitu akta autentik dan akta dibawah tangan.

Akta autentik, yaitu suatu akta dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta itu dibuat. (Pasal 1868 BW). Akta autentik ternagi dua yaitu ;
a. akta yang dibuat oleh pegawai/ pejabat umum
b. akta yang dibuat oleh para pihak yang dihadapan pejabat umumyang berwenang.

Akta autentik merupakan bukti yang sempurna, hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1870 BW, kecuali jika terbukti sebaliknya, bahwa akta autentik tersebut palsu.

Hal lain yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian akta autentik, yakni ;
1. Apabila yang termuat didalam akta itu sebagai penuturan belaka yang tidak ada hubungannya dengan pokok isi akta, maka hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan.
2. Menurut Pasal 1872 BW, jika suatu akta autentik disangka/ diduga palsu, pelaksanaannya dapat ditangguhkan.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tentang suatu peristiwa, kejadian atau hal tertentu dan ditandatangani oleh para pihak yang berkepentingan tersebut.

Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan dapat disimpulkan dari Pasal 1875-1877 BW, bahwa:
a. Apabila isi akta dibawah tangan itu diakui oleh orang yang dimaksud dalam akta itu, bagi orang-orang yang menandatangani dan para ahli warisnya serta orang yang mendapat hak daripadanya merupakan bukti yang sempurna seperti akta autentik
b. Apabila tanda tangan yang tertera didalam akta dibawah tangan itu diakui oleh para pihak, akta itu memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Jika, tandatangan tersebut dipungkiri/ tidak diakui , hakim memerintahkan supaya kebenaran akta tersebut diperiksa.

Surat lain bukan akta dan salinan, Berdasarkan Pasal 1881 BW, kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta adalah ditangan hakim untuk mempertimbangkan. Sedangkan, kekuatan pembuktian dari salinan suatu akta asalkan sesuai dengan aslinya adalah mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta aslinya (Pasal 1888 BW).