PERKEMBANGAN ASAS-ASAS PERJANJIAN DAN SYARAT SAHNYA
PERJANJIAN
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H
1.
Asas-asas Perjanjian
Kedudukan asas hukum dalam sistem
hukum yang di dalamnya mengatur norma hukum mempunyai peranan penting,asas hukum merupakan
landasan atau pondasi yang menopang kokohnya suatu norma hukum[1].
Untuk memahami apa yang di maksud dengan asas
hukum, beberapa ahli memberikan batasan atau pengertian sebagai berikut:
a.
Bellefroid,mengemukakan
bahwa asas hukum umum adalah
norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak
dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum umum merupakan
kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam suatu masyarakat.[2]
b.
van
Eikema Homes,menjelaskan bahwa asas bukan norma hukum yang
konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum
positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum.[3]
c.
Paul
Scholten, menguraikan asas hukum adalah
pikiran-pikiran dasar, yang terdapat didalam dan di belakang sistem hukum
masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan, perundang-undangan, dan
putusan-putusan hakimyang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan
individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.[4]
Namun masih banyak
pendapat para ahli mengenai batasan atau pengertian asas hukum, hal tersebut
mengartikan bahwa begitu luasnya makna asas
hukum sehingga sulit sekali untuk dapat kita batasi secara ketat (Strict). Selanjutnya asas-asas hukum yang di kenal
dalam Hukum Perdata pada umumnya yaitu sebagai berikut:
1.
Asas Kebebasan berkontrak
Pada
Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar
ketertiban umum dan kesusilaan[5].
Asas kebebasan berkontrak
diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Penekanan
pada kata ‘semua’, maka Pasal
tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bahwa masyarakat di perbolehkan
membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan
perjanjian itu mengikat mereka yang membuat seperti suatu undang-undang[6].
Menurut Agus Yudha Hernoko pembatasan
terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan
kesusilaan”. Istilah ‘semua’ di dalamnya terkandung – azaspartij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract
vrijheid – memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi
maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk
kontrak standar[7].
Dengan
demikian menurut asas
kebebasan berkontrak, seseorang padaumumnya mempunyai pilihan bebas untuk
mengadakan perjanjian[8].Pada asas ini terkandung suatu
pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian,
bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian[9].
2.
Asas Konsensus
Pada rumusan Pasal 1338 KUHPerdata di
atas, terdapat istilah ‘secara sah’ yang bermakna bahwa dalam pembuatan
perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat, karena di dalam asas ini terkandung
‘kehendak para pihak’[10]
untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak
terhadap pemenuhan perjanjian. Asas
kepercayaan (vertrouwenleer)
merupakan nilai etis yang bersumber pada moral[11].
Maka
dapat dinyatakan Asas
konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal
1338 KUHPerdata, kesepakatan
menurut asas
ini perjanjian lahir cukup dengan adanya kata sepakat.Ditekankan adanya
persesuaian kehendak (meeting mind)
sebagai inti dari hukum kontrak[12].
3.
Asas Daya Mengikat
Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Berdasarkan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata
yang menyebutkan “…berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”.Pengertian di atas menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui
dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat
undang-undang.
Kekuatan
yang mengikat dari perjanjian muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak
merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai
kepercayaan di dalamnya[13].
Menurut Eggens manusia terhormat akan memelihara janjinya. sedang Grotius
mencari dasar consensus dalam ajaran
Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat”, karena “kita harus memenuhi janji
kita” (promissorum implendorum obligatio)[14].
Namun kekuatan mengikat perjanjian yang pada prinsipnya mempunyai daya kerja (strekking) sebatas para pihak yang
membuat perjanjian.Hal ini menunjukkan bahwa hak yang lahir merupakan hak
perorangan (persoonlijk) dan bersifat
relatif[15].
4.
Itikad baik
Apa yang di maksud dengan itikad baik (te goeder trouw, good faith)
perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas,menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesiayang dimaksud
dengan ‘itikad’ adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang
baik)[16].
Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan
jujur” atau “secara jujur”[17].
Pengaturan
Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata, yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad
baik.Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan.
Menurut Salim H.S yang mengutip pendapat J.van
Dunne mengemukakan berkaitan
daya berlaku itikad baik (geode
trouw;good faith) meliputi seluruh proses kontrak atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan
demikian itikad baik meliputi tiga fase perjalanan kontrak, yaitu: (i) pre contractuele fase, (ii) contractuele fase, dan (iii) postcontractuele fase[18].
Pada
umumnya Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata di atas selalu dihubungkan dengan Pasal
1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”.
5.
Asas
Proporsionalitas
Asas proporsionalitas merupakan asas yang diangkat dan
dikembangkan dari pola pikir hukum adat yang berlandaskan pada gotong royong,
tolong menolong, dan kekeluargaan.[19]Menurut
Agus Yudha Hernoko mengemukakan yang pada intinya bahwa dalam kontrak komersial
harus menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan dengan adanya pertukaran
hak dan kewajiban secara fair
(proporsional).[20]
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa untuk mencari makna
azas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofi
keadilan. [21]Seperti
menurut Aristoteles, menyatakan bahwa: “justice
consist in treating equals equally and unequals unequally, in propotion to their
inequality”. (Prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang
tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional). Dan Ulpianus
menggambarkan keadilan sebagai berikut: “Keadilan adalah kehendak yang terus
menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya ‘to give everybody his own’”.[22]
Sedangkan John Rawls memberikan kriteria pembagian
proporsional yang menekan pada prinsip hak yang berlandaskan rasionalitas,
kebebasan dan kesamaan.[23]
Akan tetapi Atijah memberikan landasan-landasan pemikiran mengenai asas
proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan
pertukaran yang adil dalam dunia bisnis, bahwa transaksi para pihak yang
berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want)[24].
Sejalan dengan pendapat di
atas, Peter Mahmud Marzuki menyebut istilah proporsionalitas dengan istilah ‘equitability contract’ dengan unsur justice dan fairness. Makna ‘equitability’
menunjukkan suatu hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan
adil (fair). Merujuk pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang
menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum
pretium yaitu kepantasan menurut hukum.[25]
Menurutnya bahwa tidak dapat
disangkal lagi kesamaan para pihak tidak pernah ada dan sebaliknya, para pihak
yang masuk ke dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama, akan tetapi
ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk
memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain, dalam situasi
inilah asas proporsionalitas bermakna eqitability.[26]
Ahmad Miru dalam disertasinya
menyatakan bahwa, “Keseimbangan antara konsumen-produsen dapat dicapai denganmeningkatkan
perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan
konsumen”.[27]
Dengan demikian, dapat asas keseimbangan dapat diartikan sebagai keseimbangan
posisi para pihak.
2.
Syarat
sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian diatur dalam
sistematika Buku III KUHPerdata, yaitu:
a)
Syarat sahnya kontrak
yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata;
dan
b)
Syarat sahnya kontrak
yang diatur di luar pasal 1320 KUHPerdata (vide Pasal 1335, 1337, 1339 dan 1347).
Pada Pasal
1320 KUHPerdata tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk
sahnya suatu kontrak, yaitu:
1)
Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya;
2)
Cakap untuk membuat
perikatan;
3)
Mengenai sesuatu hal
tertentu;
4)
Suatu sebab yang halal
atau diperbolehkan.
Dua syarat yang
pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan[28].
Dalam system common law untuk sahnya suatu kontrak
juga mensyaratkan dipenuhinya beberapa
elemen. Secara garis besar elemen penting pembentuk kontrak, meliputi:[29]
(1) Intention to create a legal
relationship, para pihak yang berkontrak memang bermaksud bahwa
kontrak yang mereka buat dapat dilaksanakan berdasarkan hukum.
(2) Agreement (Offer and acceptance);
(3) Consideration, merupakan
janji diantara para pihak untuk saling berprestasi.
Menurut Agus Yudha Hernoko yang
mengutip pendapat M.L Barron yang menambahkan elemen
pembentuk kontrak, selain ketiga elemen di atas, meliputi juga:[30]
(1)
Capacity
of parties, kecakapan para pihak.
(2)
Reality
of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai
dengan kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehendak.
(3)
Legality
of object.
(1) Adanya offer (penawaran) dan acceptance
(penerimaan);
(2) Metting of minds (persesuaian kehendak);
(3) Consideration (prestasi), dan
(4) Competent parities and legal
subject matter (kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang
sah).
Mengenai syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata,
akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut:
1.
Kesepakatan
Kesepakatan mengandung pengertian bahwa
para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing unruk menutup suatu
perjanjian atau pernyataan pihak yang lain[32].
Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat
dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak
para pihak.kesepakatan ini dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur penawaran dan
penerimaan[33].
Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk
mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup esensialia[34]
perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan setuju
dari pihak yang ditawari.
Pada
KUHPerdata terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak
berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu:
a.
Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 KUHPerdata),
kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai
gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya[35].
b.
Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327
KUHPerdata), paksaan dalam arti luas meliputi ancaman baik kata-kata atau
tindakan. Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas maka
perjanjiannya dapat dibatalkan[36].
c.
Penipuan atau bedrog(vide
Pasal 1328 KUHPerdata),
Perjanjian yang dilakukan dapat dibatalkan. Dalam penipuan kehendaknya itu
keliru karena penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk
mempengaruhi ke tujuan ynag keliru atau supaya mempunyai gambaran keliru[37].
Namun menurut
Jesse S. Rafhael menyatakan bahwa persesuaian kehendak itu harus dilakukan
secara jujur. Apabila kontrak dilakukan dengan adanya penipuan (fraude), kesalahan (mistake), paksaan (duress),
dan penyalahgunaan keadaan (undue influence),
maka kontrak menjadi tidak sah, dan dapat dibatalkan.[38]
2.
Kecakapan
Kecakapan yang dimaksud
dalam Pasal 1320 KUHPerdata
adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.Kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum
secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa diganggu gugat. Kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini:
a.
Person,
diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjaring) diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata
jo. Pasal 330 KUHperdata, dan
b.
Rechtspersoon
(badan hukum), diukur dari aspek
kewenangan.
Dalam
KUHPerdata terdapat dua istilah tidak cakap (Onbekwaam) dan tidak berwenang (Onvevoegd).
a.
Tidak cakap adalah
orang yang umumnya berdasar ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri
perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum yang lengkap, seperti orang belum
dewasa, orang di bawah kuratile (pengampuan), sakit jiwa dan sebagainya.
b.
Tidak berwenang adalah
orang itu cakap tetapi ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tertentu yang terdapat pada Pasal
1467, 1470, 1601 i, 1678, 1681.
Pada Pasal
1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa ketidakcakapan seseorang merupakan kekecualian
dalam membuat perikatan,sedangkan
Pasal 1330 KUHPerdata mengatur mengenai siapa saja yang dinyatakan tidak cakap
membuat perjanjian.
Mengenai kewenangan seorang akibat hukumnya tidak diatur lebih lanjut, tetapi
demi perlindungan kepentingan umum maka akibat hukum dari perbuatan yang tidak berwenang adalah batal,
karena merupakan pelanggaran terhadap peraturan Perundang-undangan yang telah ditentukan[39].
3.
Sesuatu hal tertentu
Adapun yang dimaksud
suatu hal atau obyek tertentu adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang
bersangkutan.Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan
yang menjadi kewajiban para pihak.Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat
ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal
demi hukum)[40].Lebih
lanjut mengenai hal atau obyek tertentu diatur pasal 1332, 1333, 1334
KUHPerdata.
4.
Suatu sebab yang halal
atau diperbolehkan.
Ajaran tentang causa
yang halal, sampai saat ini sebenarnya tidak terlalu jelas, KUHPerdata sendiri
mengadopsi syarat causa dari Code Civil
Perancis yang bersumber dari pandangan Domat dan Pothier,apa yang menjadi dasar
keterikatan para pihak pada prestasi masing-masing, karena dengan menerima
perikatan berarti para pihak menerima kewajiban-kewajiban yang timbul dari
perikatan tersebut[41].
Syarat suatu sebab yang
halal ini mempunyai dua fungsi yaitu: perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa
syarat ini perjanjian batal, sebabnya harus halal, kalau tidak halal perjanjian
batal[42].
Namun berkaitan dengan hal tersebut telah diatur dalam Pasal 1335, 1337
KUHPerdata.
[1] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
Kontrak Komersil,(Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2008),
hlm. 19.
[4] J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, alih
bahasa:Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1996),
hlm. 119.
[7] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
Kontrak Komersil, Op.,cit, hlm. 93.
[8]Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,Yuridika,
Volume 18 No.3 Tahun 2003, hlm. 31.
[10] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
Kontrak Komersil, Op.,cit, hlm. 105.
[11] Mariam Darus
Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1991), hlm. 108-109.
[12] Djasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law
dan Common Law, Lokakarya ELIPS Project-Materi perbandingan Hukum
Perjanjian, Kerjasama FH UNAIR dan FH UI, Hotel Sahid Surabaya, 1993, hlm. 5.
[13] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
Kontrak Komersil,(Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2008),
hlm. 111.
[14] Mariam Darus
Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 110.
[16]Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KamusBesar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 369.
[17] Soetojo
Prawirohamidjojo, Itikad Baik (Goede
Trouw/Good Faith), Pidato dalam rangka memperingati Dies Natalis XXXVIII
Universitas Airlangga, Surabaya, 1992, hlm. 3.
[18]Salim H.S, Perkembangan Kontrak Innominaat di
Indonesia, Op.,cit, hlm. 17.
[19]Herlien
Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum
Perjanjian Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 361.
[21]Ibid, hlm. 70.
[22]Ibid.
[23]John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: The
Belknap press of Harvard University press of Cambrigde, 1999), terjemahan dari Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, TeoriKeadilan:
Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.15.
[24]P.S. Atijah,
An Introduction to The Law of Contract, (New
York: Oxford University Press, 1995), hlm. 5.terjemahanAgus. Y, Pengantar Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007),
hlm. 72.
[25]Peter Mahmud
Marzuki, Op.,cit,hlm. 205.
[26]Ibid.
[27]Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 129.
[29]Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat,
Op.,cit, hlm. 24, Lihat juga Roger Halson, Contract
Law, (London: Pearson Education
Limited, 200, hlm. 119.
[30]Agus Yudha
Hernoko, Op,cit, hlm. 170.
[31]Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
indonesia, Op.,cit, hlm. 25.
[32] J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan
Djasadin Saragih), (Surabaya:
Universitas Airlangga,
1985),
hlm. 2
[38]Salim H.S. Perkembangan Hukum Kontrak, Op.,cit, hlm.
27.
[40] Agus Yudha Hernoko, Op.,cit, hlm.169
[42] Purwadi Patrik, Op.,cit, hlm. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar