Senin, 02 September 2013

PERKEMBANGAN ASAS-ASAS PERJANJIAN DAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN


PERKEMBANGAN ASAS-ASAS PERJANJIAN DAN SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H


1.             Asas-asas Perjanjian
Kedudukan asas hukum dalam sistem hukum yang di dalamnya mengatur norma hukum mempunyai peranan penting,asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kokohnya suatu norma hukum[1]. Untuk memahami apa yang di maksud dengan asas hukum, beberapa ahli memberikan batasan atau pengertian sebagai berikut:
a.    Bellefroid,mengemukakan bahwa asas hukum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Jadi asas hukum umum merupakan kristalisasi (pengendapan) hukum positif dalam suatu masyarakat.[2]
b.    van Eikema Homes,menjelaskan bahwa asas bukan norma hukum yang konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum.[3]
c.    Paul Scholten, menguraikan asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar, yang terdapat didalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan, perundang-undangan, dan putusan-putusan hakimyang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.[4]
Namun masih banyak pendapat para ahli mengenai batasan atau pengertian asas hukum, hal tersebut mengartikan bahwa begitu luasnya makna asas hukum sehingga sulit sekali untuk dapat kita batasi secara ketat (Strict). Selanjutnya asas-asas hukum yang di kenal dalam Hukum Perdata pada umumnya yaitu sebagai berikut:
1.    Asas Kebebasan berkontrak
Pada Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan[5]. Asas kebebasan berkontrak diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Penekanan pada kata ‘semua’, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan bahwa masyarakat di perbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuat seperti suatu undang-undang[6]. Menurut Agus Yudha Hernoko pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan”. Istilah ‘semua’ di dalamnya terkandung – azaspartij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijheid – memang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standar[7].
Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak, seseorang padaumumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian[8].Pada asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian[9].
2.    Asas Konsensus
Pada rumusan Pasal 1338 KUHPerdata di atas, terdapat istilah ‘secara sah’ yang bermakna bahwa dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat, karena di dalam asas ini terkandung ‘kehendak para pihak’[10] untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral[11].
Maka dapat dinyatakan Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, kesepakatan menurut asas ini perjanjian lahir cukup dengan adanya kata sepakat.Ditekankan adanya persesuaian kehendak (meeting mind) sebagai inti dari hukum kontrak[12].
3.         Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Berdasarkan rumusan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan “…berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.Pengertian di atas menunjukkan bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang.
Kekuatan yang mengikat dari perjanjian muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya[13]. Menurut Eggens manusia terhormat akan memelihara janjinya. sedang Grotius mencari dasar consensus dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat”, karena “kita harus memenuhi janji kita” (promissorum implendorum obligatio)[14]. Namun kekuatan mengikat perjanjian yang pada prinsipnya mempunyai daya kerja (strekking) sebatas para pihak yang membuat perjanjian.Hal ini menunjukkan bahwa hak yang lahir merupakan hak perorangan (persoonlijk) dan bersifat relatif[15].
4.         Itikad baik
Apa yang di maksud dengan itikad baik (te goeder trouw, good faith) perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas,menurut Kamus Besar Bahasa Indonesiayang dimaksud dengan ‘itikad’ adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik)[16]. Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”[17].
Pengaturan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Menurut Salim H.S yang mengutip pendapat J.van Dunne mengemukakan berkaitan daya berlaku itikad baik (geode trouw;good faith) meliputi seluruh proses kontrak atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan demikian itikad baik meliputi tiga fase perjalanan kontrak, yaitu: (i) pre contractuele fase, (ii) contractuele fase, dan (iii) postcontractuele fase[18].
Pada umumnya Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata di atas selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 KUHPerdata, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”.
5.         Asas Proporsionalitas
Asas proporsionalitas merupakan asas yang diangkat dan dikembangkan dari pola pikir hukum adat yang berlandaskan pada gotong royong, tolong menolong, dan kekeluargaan.[19]Menurut Agus Yudha Hernoko mengemukakan yang pada intinya bahwa dalam kontrak komersial harus menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan dengan adanya pertukaran hak dan kewajiban secara fair (proporsional).[20]
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa untuk mencari makna azas proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofi keadilan. [21]Seperti menurut Aristoteles, menyatakan bahwa: “justice consist in treating equals equally and unequals unequally, in propotion to their inequality”. (Prinsip bahwa yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional). Dan Ulpianus menggambarkan keadilan sebagai berikut: “Keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya ‘to give everybody his own’”.[22]
Sedangkan John Rawls memberikan kriteria pembagian proporsional yang menekan pada prinsip hak yang berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.[23] Akan tetapi Atijah memberikan landasan-landasan pemikiran mengenai asas proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil dalam dunia bisnis, bahwa transaksi para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want)[24].
Sejalan dengan pendapat di atas, Peter Mahmud Marzuki menyebut istilah proporsionalitas dengan istilah ‘equitability contract’ dengan unsur justice dan fairness. Makna ‘equitability’ menunjukkan suatu hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair). Merujuk pada asas aequitas praestasionis, yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan ajaran justum pretium yaitu kepantasan menurut hukum.[25]
Menurutnya bahwa tidak dapat disangkal lagi kesamaan para pihak tidak pernah ada dan sebaliknya, para pihak yang masuk ke dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama, akan tetapi ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain, dalam situasi inilah asas proporsionalitas bermakna eqitability.[26]
Ahmad Miru dalam disertasinya menyatakan bahwa, “Keseimbangan antara konsumen-produsen dapat dicapai denganmeningkatkan perlindungan terhadap konsumen karena posisi produsen lebih kuat dibandingkan konsumen”.[27] Dengan demikian, dapat asas keseimbangan dapat diartikan sebagai keseimbangan posisi para pihak.
2.   Syarat sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian diatur dalam sistematika Buku III KUHPerdata, yaitu:
a)         Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata; dan
b)        Syarat sahnya kontrak yang diatur di luar pasal 1320 KUHPerdata (vide Pasal 1335, 1337, 1339 dan 1347).
Pada Pasal 1320 KUHPerdata tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu:
1)        Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2)        Cakap untuk membuat perikatan;
3)        Mengenai sesuatu hal tertentu;
4)        Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan[28].
Dalam system common law untuk sahnya suatu kontrak juga mensyaratkan dipenuhinya beberapa elemen. Secara garis besar elemen penting pembentuk kontrak, meliputi:[29]
(1)      Intention to create a legal relationship, para pihak yang berkontrak memang bermaksud bahwa kontrak yang mereka buat dapat dilaksanakan berdasarkan hukum.
(2)      Agreement (Offer and acceptance);
(3)      Consideration, merupakan janji diantara para pihak untuk saling berprestasi.
                                                                                    
Menurut Agus Yudha Hernoko yang mengutip pendapat M.L Barron yang menambahkan elemen pembentuk kontrak, selain ketiga elemen di atas, meliputi juga:[30]
(1)      Capacity of parties, kecakapan para pihak.
(2)      Reality of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehendak.
(3)      Legality of object.

Dalam hukum kontrak (law of contract) Amerika ditentukan empat syarat sahnya kontrak yaitu:[31]
(1)      Adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan);
(2)      Metting of minds (persesuaian kehendak);
(3)      Consideration (prestasi), dan
(4)      Competent parities and legal subject matter (kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah).

Mengenai syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut:
1.         Kesepakatan
Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing unruk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang lain[32]. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.kesepakatan ini dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur penawaran dan penerimaan[33]. Penawaran diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Usul ini mencakup esensialia[34] perjanjian yang akan ditutup. Sedangkan penerimaan merupakan pernyataan setuju dari pihak yang ditawari.
Pada KUHPerdata terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu:
a.                  Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 KUHPerdata), kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya[35].
b.                  Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327 KUHPerdata), paksaan dalam arti luas meliputi ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas maka perjanjiannya dapat dibatalkan[36].
c.                  Penipuan atau  bedrog(vide Pasal 1328 KUHPerdata), Perjanjian yang dilakukan dapat dibatalkan. Dalam penipuan kehendaknya itu keliru karena penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi ke tujuan ynag keliru atau supaya mempunyai gambaran keliru[37].
Namun menurut Jesse S. Rafhael menyatakan bahwa persesuaian kehendak itu harus dilakukan secara jujur. Apabila kontrak dilakukan dengan adanya penipuan (fraude), kesalahan (mistake), paksaan (duress), dan penyalahgunaan keadaan (undue influence), maka kontrak menjadi tidak sah, dan dapat dibatalkan.[38]
2.         Kecakapan
Kecakapan yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa diganggu gugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini:
a.                  Person, diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjaring) diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 330 KUHperdata, dan
b.                  Rechtspersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan.
Dalam KUHPerdata terdapat dua istilah tidak cakap (Onbekwaam) dan tidak berwenang (Onvevoegd).
a.                 Tidak cakap adalah orang yang umumnya berdasar ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum yang lengkap, seperti orang belum dewasa, orang di bawah kuratile (pengampuan), sakit jiwa dan sebagainya.
b.                Tidak berwenang adalah orang itu cakap tetapi ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tertentu yang terdapat pada Pasal 1467, 1470, 1601 i, 1678, 1681.
Pada Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa ketidakcakapan seseorang merupakan kekecualian dalam membuat perikatan,sedangkan Pasal 1330 KUHPerdata mengatur mengenai siapa saja yang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian. Mengenai kewenangan seorang akibat hukumnya tidak diatur lebih lanjut, tetapi demi perlindungan kepentingan umum maka akibat hukum dari perbuatan yang tidak berwenang adalah batal, karena merupakan pelanggaran terhadap peraturan Perundang-undangan yang telah ditentukan[39].
3.         Sesuatu hal tertentu
Adapun yang dimaksud suatu hal atau obyek tertentu adalah prestasi yang menjadi pokok kontrak yang bersangkutan.Hal ini untuk memastikan sifat dan luasnya pernyataan-pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak.Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luas kewajiban para pihak adalah tidak mengikat (batal demi hukum)[40].Lebih lanjut mengenai hal atau obyek tertentu diatur pasal 1332, 1333, 1334 KUHPerdata.

4.         Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan.
Ajaran tentang causa yang halal, sampai saat ini sebenarnya tidak terlalu jelas, KUHPerdata sendiri mengadopsi syarat causa dari Code Civil Perancis yang bersumber dari pandangan Domat dan Pothier,apa yang menjadi dasar keterikatan para pihak pada prestasi masing-masing, karena dengan menerima perikatan berarti para pihak menerima kewajiban-kewajiban yang timbul dari perikatan tersebut[41].
Syarat suatu sebab yang halal ini mempunyai dua fungsi yaitu: perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa syarat ini perjanjian batal, sebabnya harus halal, kalau tidak halal perjanjian batal[42]. Namun berkaitan dengan hal tersebut telah diatur dalam Pasal 1335, 1337 KUHPerdata.



[1] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersil,(Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hlm. 19.
[2] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 34.
[3]Op.,cit.
[4] J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, alih bahasa:Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti,  1996), hlm. 119.
[5] Subekti, Op.,cit, hlm. 12.
[6]Ibid, hlm. 13.
[7] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersil, Op.,cit, hlm. 93.
[8]Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak,Yuridika, Volume 18 No.3 Tahun 2003, hlm. 31.
[9] Subekti, Op.,cit
[10] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersil, Op.,cit, hlm. 105.
[11] Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Citra Aditya Bakti,  1991), hlm. 108-109.
[12] Djasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law, Lokakarya ELIPS Project-Materi perbandingan Hukum Perjanjian, Kerjasama FH UNAIR dan FH UI, Hotel Sahid Surabaya, 1993, hlm. 5.
[13] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersil,(Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hlm. 111.
[14] Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996), hlm. 110.
[15] M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, (Surabaya: Dharma Muda, 1996), hlm. 32.
[16]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KamusBesar Bahasa Indonesia, (Jakarta:  Balai Pustaka, 1995), hlm. 369.
[17] Soetojo Prawirohamidjojo, Itikad Baik (Goede Trouw/Good Faith), Pidato dalam rangka memperingati Dies Natalis XXXVIII Universitas Airlangga, Surabaya, 1992, hlm. 3.
[18]Salim H.S, Perkembangan Kontrak Innominaat di Indonesia, Op.,cit, hlm. 17.
[19]Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 361.
[20] Agus Yudha Hernoko,Op.,cit, hlm. 70.
[21]Ibid, hlm. 70.
[22]Ibid.
[23]John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: The Belknap press of Harvard University press of Cambrigde, 1999), terjemahan dari Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, TeoriKeadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.15.
[24]P.S. Atijah, An Introduction to The Law of Contract, (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 5.terjemahanAgus. Y, Pengantar Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 72.
[25]Peter Mahmud Marzuki, Op.,cit,hlm. 205.
[26]Ibid.
[27]Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 129.
[28] Subekti, Op.,cit,hlm. 17.
[29]Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat, Op.,cit, hlm. 24, Lihat juga Roger Halson, Contract Law, (London: Pearson Education Limited, 200, hlm. 119.
[30]Agus Yudha Hernoko, Op,cit, hlm. 170.
[31]Salim. H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di indonesia, Op.,cit, hlm. 25.
[32] J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan Djasadin Saragih), (Surabaya: Universitas Airlangga, 1985), hlm. 2
[33]Ibid.
[34]Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Jakarta: Bina Cipta, 1987), hlm. 50
[35] Purwahid Patrik, Op.,cit, hlm. 58
[36]Ibid, hlm. 60
[37]Ibid.
[38]Salim H.S. Perkembangan Hukum Kontrak, Op.,cit, hlm. 27.
[39]Ibid, hlm. 63.
[40] Agus Yudha Hernoko, Op.,cit, hlm.169
[41] J.Satrio,Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: Alumni, 1999), hlm. 27.
[42] Purwadi Patrik, Op.,cit, hlm. 64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar