Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.
a.
Kontrak menurut
sumber hukumnya
Menurut Sudikno Mertokusumo, kontrak menurut sumber
hukumnya digolongkan menjadi 5 (lima) macam, yaitu:
1)
Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti
perkawinan;
2)
Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang
berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
3)
Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan
kewajiban;
4)
Perjanjian yang bersumber dari hukum acara yang disebut
dengan bewijsovereenkomst;
5)
Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut
dengan publiekrechtelijke overeenkomst.[1]
b.
Kontrak menurut
namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang
tercantum dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang hanya menyebutkan 2 (dua) macam
kontrak menurut namanya, yaitu kontrak nominaat
(bernama) dan kontrak innominaat
(tidak bernama). Kontrak nominaat
adalah kontrak yang dikenal dalam KUHPerdata, yang termasuk dalam kontrak nominaat adalah jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam
pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan
lain-lain[2].
Sedangkan kontrak innominaatadalah
kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat, yang termasuk
kontrak innominaatadalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak surogasi, joint
venture, kontrak karya, keagenan, production
sharing, dan lain-lain.[3]Namun
Vollmar mengemukakan kontrak jenis yang ketiga antara bernama dan tidak
bernama, yaitu kontrak campuran.[4]
c.
Kontrak menurut
bentuknya
KUHPerdata tidak menyebutkan secara sistematis tentang
bentuk kontrak, namun berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1682 KUHPerdata, kontrak
menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua yaitu kontrak lisan dan kontrak
tertulis.
d.
Kontrak timbal
balik
Menurut Vollmar, yang menggolongkan kontrak timbal balik
yakni kontrak yang penggolongannya dilihat dari hak dan kewajiban para pihak.
Misalnya jual beli, sewa menyewa. Perjanjian timbal balik dibagi menjadi dua
macam yaitu timbal balik tidak sempurna dan perjanjian sepihak.[5]
e.
Perjanjian
cuma-cuma
Menurut Sri Soedewi, penggolongan ini didasarkan pada
keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lain. Perjanjian
Cuma-Cuma merupakan perjanjian yang menurut hukum hanya menimbulkan keuntungan
bagi salah satu pihak, misalnya hadiah, pinjam pakai.[6]
f.
Perjanjian
berdasarkan sifatnya
Penggolongan
ini berdasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya
perjanjian tersebut. Perjanjian menurut sifatnya dibagi menjadi dua macam yaitu
perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah
suatu perjanjian yang ditimbulkan oleh hak kebendaan, diubah atau dilenyapkan,
hal itu untuk memenuhi perikatan. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan
perjanjian yang menimbulkan kewajiban dari pihak lain.[7]
Namun dikenal juga jenis perjanjian menurut sifatnya,
yaitu perjanjian pokok dan perjanjian accessoir. Perjanjian pokok merupakan
perjanjian yang utama, sedangkan perjanjian accessoir merupakan perjanjian
tambahan.[8]
2.
Para
pihakdanObjekperjanjiankemitraan
Para pihak yang
terkaitdalamperjanjiankemitraanadalahpihakusahakecildenganusahamenengahataubesar,usahakeciladalahkegiatanekonomirakyat
yang berskalakecildanmemenuhikriteriakekayaanbersihatauhasilpenjualantahunansertakepemilikannya
(Pasal 1 angka 5
KeputusanMenteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan
BUMN dengan Usaha Kecil dan Program BinaLingkungan).
Ukuran yang
digunakanuntukmenentukanusahakecil,
usahamenengahatauusahabesaradalahdilihatdariaspekpermodalan.Kegiatanekonomi yang
berskalakecilmempunyaikriteria, diantaranya:
a.
Memilikikekayaanbersih
paling banyakRp. 200 juta,
tidaktermasuktanahdanbangunantempatusahaataumemilikihasilpenjualantahunan
paling banyakRp. 1.000.000.000,00;
b.
Milikwarga Negara
Indonesia;
c.
Berdirisendiri,
bukanmerupakananakperusahaanataucabangperusahaan yang dimiliki,
dikuasaiatauberafiliasibaiklangsungmaupuntidaklangsungdenganusahamenengahatauusahabesar;
dan
d.
Berbentukusahaperorangan,
badanusaha yang tidakberbadanhukumataubadanusaha yang berbadanhukum.
Kriteriausahamenengahdanataubesaradalahkekayaanbersihatauhasilpenjualantahunanlebihbesardaripadakekayaanbersihatauhasilpenjualantahunanusahakecil.usaha
yang termasukusahamenengahdanbesar, meliputi:
a.
Usaha nasional (BUMN
dan BUMS);
b.
Usaha patungan;
c.
Usaha asing yang
melakukankegiatanekonomi di Indonesia.
Objekdalamperjanjiankemitraan
yang paling prinsipadalahberupapemberiandanakemitraan,tujuanpenggunaandanakemitraaniniadalahuntukmeningkatkankualitasdankuantitasdariusahakecilitusendirisehinggamerekadapatbersaingdenganusahamenengahdanusahabesar[9].
[1]Sudikno
Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum
Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM, 1987), hlm. 11.
[2]Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat,
Op.,cit, hlm. 18.
[3]Ibid.
[4]Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, Diterjemahkan
oleh I.S Adiwimarta, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984), hlm. 144-146.
[6]Sri Soedewi
MS, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta:
Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 1980), hlm. 6.
[7]Ibid.
[9]H.Salim HS, PerkembanganHukumKontrak di luarKUHPerdata
(BukuSatu), (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2007),
hlm. 195.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar