Senin, 21 April 2014

MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI PENGAWAS TERTINGGI TERHADAP PENYELENGGARAAN PERADILAN



Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.

Pengertian Pengawasan
Secara umum yang dimaksud dengan pengawasan adalah segala kegiatan dan tindakan untuk menjamin peyelenggaraan suatu kegiatan yang tidak menyimpang dari tujuan serta rencana yang telah digariskan.
Sedangkan menurut Sujamto dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan”, pengertian dari pengawasan adalah sebagai berikut:[1] “Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui atau menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”.
Definisi lain menurut Revrisond Baswir dalam bukunya “Akuntansi Pemerintahan Indonesia”, mengemukakan bahwa:[2] Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan itu dilakukan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan tujuan yang telah ditetapkan”.
Jenis-Jenis Pengawasan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan definisi empat jenis pengawasan yaitu Pengawasan Melekat, Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif, Pengawasan Masyarakat. Adapun pengertian setiap jenis pengawasan tersebut menurut PP Nomor 20 Tahun 2001 adalah:


1.             Pengawasan Melekat
Pemgawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya secara preventif dan represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.             Pengawasan Fungsional
Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern Pemerintahan yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Sujamto pengertian pengawasan fungsional dalam bukunya “Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan”, yaitu:[3] “Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk membantu pimpinan (manajer) dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkunagan organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Aparat-aparatnya dinamakan aparat pengawasan fungsional”.
Definisi lain dari pengawasan fungsional yang dikemukakan oleh Revrisond Baswir dalam bukunya “Akuntansi Pemerintahan Indonesia” menyatakan bahwa:[4] “Pengawasan Fungsional adalah pengawasan yang  dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional, baik yang berasal dari lingkungan internal pemerintah maupun yang berasal dari lingkungan eksternal pemerintah”.
Sedangkan yang dimaksud pengawasan fungsional dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 1 adalah:
“Pengawasan Fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian”.
3.             Pengawasan Legislatif
Pengawasan legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah dan pembangunan.
4.             Pengawasan Masyarakat
Pengawasan Masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tulisan kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan, berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung maupun melalui media.
Sedangkan menurut Baldric Siregar dan Bonni Siregar dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem Dana”, menjelaskan bahwa jenis-jenis pengawasan keuangan Negara dapat dibedakan berdasarkan[5]:
1.      Sifat Pengawasan
2.      Hubungan aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi
3.      Metode pengawasan
Adapun penjelasan dari hal di atas adalah sebagai berikut:[6]
1. Sifat Pengawasan
-       Pengawasan Preventif : Pengawasan Preventif adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan terhadap pengelolaan keuangan Negara sebelum  tindakan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan preventif ialah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan pengelolaan keuangan Negara.
-      Pengawasan Represif : Pengawasan Represif merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan terhadap tindakan pengelolaan keuangan Negara setelah tindakan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan represif adalah untuk mengidentifikasi apakah terjadi penyimpangan, tindakan koreksi yang dibutuhkan dan rekomendasi perbaikan dalam pengelolaan keuangan Negara. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan membandingkan tindakan pengelolaan keuangan Negara yang telah dilakukan dengan ketentuan pengelolaan keuangan Negara.
2. Hubungan aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi
-      Pengawasan Eksternal : Pengawasan Eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang berasal dari unit organisasi lain selain unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah keuanya tidak berbeda dalam satu unit organisasi yang sama.
-      Pengawasan Intern : Pengawasan Intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang ada di lingkungan unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah keduanya berada dalam satu unit organisasi yang sama.
3. Metode Pengawasan
-      Pengawasan Melekat : Pengawasan Melekat merupakan pengawasan oleh pimpinan yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan pelaksanaan aktivitas bawahannya.
-      Pengawasan Fungsional : Pengawasan Fungsional adalah pengawasan oleh aparatur fungsional yang dilakukan oleh instansi yang independent dari unsure yang diawasi.

Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki fungsi sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan. Fungsi dan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung merupakan tindakan pengawasan, yakni tidak hanya meliputi fungsi dan kewenangan teknis yustisial dalam kegiatan atau aktivitas memeriksa dan menyelesaikan serta memutuskan pada tingkat kasasi, maupun perkara peninjauan kembali, tetapi juga meliputi pengawasan terhadap tindakan di luar penyelesaian perkara kasasi atau peninjauan kembali maupun memutus sengketa kewenangan mengadili yang terjadi di antara lingkungan peradilan.
  Namun pengawasan terhadap tindakan di luar penyelesaian perkara tersebut di atas, bentuk produk yang diterbitkan Mahkamah Agung tentunya bukan berupa putusan (vonnis, judgement, award). Akan tetapi berbentuk surat yang bersifat administrasi yustisial.
1.     Produk yang Diterbitkan Mahkamah Agung dalam Melaksanakan Kekuasaan Pengawasan
Dalam pelaksanaan kekuasaan pengawasan yang diperankan Mahkamah Agung telah bermunculan produk berupa:
a.       Penetapan (Beschikking)
Fungsi pengawasan Mahkamah Agung yang bertujuan memberi perlindungan hukum kepada pemohon yang mengalami ketidakadilan oleh suatu penetapan yang diterbitkan oleh Pengadilan yang lebih rendah. Di bawah ini, akan diutarakan beberapa contoh Penetapan Mahkamah Agung yang menyatakan penetapan Pengadilan Negeri batal atau tidak mempunyai kekuatan eksekutorial:
i.                    Ketetapan No. 5 Pen/Sip/1995, Juni 1975 oleh Ketua Mahkamah Agung R. Subekti.[7]
ii.                  Penetapan No. 01/Pen/Pdt/1993, tanggal 22 januari 1993, oleh ketua Mahkamah Agung Purwoto S. Ganda Subrata.
iii.                Penetapan No. 1 Pen/Pdt/2003, tanggal 7 Februari 2003, oleh ketua MA Bagir Manan.
b.      Berbentuk Surat
Selain berbentuk penetapan, terdapat juga produk yang berbentuk surat yang diterbitkan Mahkamah Agung dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan. Berbeda dengan Penetapan tersebut di atas, dalam praktiknya surat dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Muda yang membidangi hukum yang dipermasalahkan. Beberapa contoh surat yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung ialah sebagai berikut:
i.                    Surat MA No. 417/548/84/II/Um Tu/Pdt. Tanggal 25 September 1984.
ii.                  Surat MA No. 01/Tuada Pdt/III/2006, Tanggal 3 Maret 2006.

2.     Mekanisme Pengawasan Penyelenggaraan Peradilan
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan diatur dalam Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU MA serta Penjelasan Umum Undang-undang di maksud, sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
a.       Meminta keterangan
Pasal 32 ayat (3) UU MA berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dalam teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.”
Mengenai cara dan bentuk permintaan serta pemberian keterangan dari pihak yang diminta, dapat dikemukakan acuan berikut;
1)      Memanggil pihak yang bersangkutan untuk diminta keterangan secara lisan (oral);
2)      Meminta keterangan secara tertulis. Berdasarkan keterangan tertulis tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan surat yang berisi pernyataan hukum atau pendapat atau nasihat hukum kepada pihak yang berkepentingan.
b.      Memberi Petunjuk, Teguran atau Peringatan
Dalam rangka pengawasan penyelenggaraan jalannya peradilan, Mahkamah Agung dapat menggunakan kewenangan tersebut melalui cara-cara berikut:
1.      Secara ex officio, yakni Mahkamah Agung memiliki kapasitas resmi memberi pentunjuk, teguran atau peringatan kepada badan peradilan yang ada di bawahnya secara ex officio.
2.      Atas permintaan pengadilan, cara yang kedua ialah berdasarkan permintaan pengadilan yang terlibat atas suatu masalah. berdasarkan permintaan itu, mahkama agung memberi petunjuk dan nasihat hukum kepada pengadilan yang meminta, namun hal itu tidak mengurangi kewenangan Mahkamah Agung dalam memberi teguran atau peringatan.
Berdasarkan permohonan perlindungan hukum dari pencari keadilan, terutama yang menyangkut permasalahan penyitaan, penahanan, penggeledahan dalam perkara pidana. bagitu juga dalam bidang perdata, sering diajukan permohonan perlindungan hukum yang me


[1] Sujamto, Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan, Tahun 1986, hlm. 19.
[2] Revrisond Baswir, Akuntansi Pemerintahan Indonesia,  Tahun 1999, hlm. 118.
[3] Sujamto, Op.,cit,  hlm. 34.
[4] Revrisond Baswir, Op.,cit, hlm. 137.
[5] Baldric Siregar dan Bonni Siregar, Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem Dana Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem Dana,  Tahun 2000, hlm. 75.
[6] Ibid.                                                                                                                                                        
[7] Himpunan SEMA dan Peraturan/Instruksi Ketua MA Tahun 1991-1993, MARI 1993, hlm. 90.