Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.
Pengertian Pengawasan
Secara
umum yang dimaksud dengan pengawasan adalah segala kegiatan dan tindakan untuk
menjamin peyelenggaraan suatu kegiatan yang tidak menyimpang dari tujuan serta
rencana yang telah digariskan.
Sedangkan menurut Sujamto dalam bukunya yang
berjudul “Beberapa Pengertian di bidang Pengawasan”, pengertian dari pengawasan
adalah sebagai berikut:[1] “Pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui atau
menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan,
apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak”.
Definisi lain menurut Revrisond Baswir dalam
bukunya “Akuntansi Pemerintahan Indonesia”, mengemukakan bahwa:[2] “Pengawasan
adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan suatu
pekerjaan atau kegiatan itu dilakukan sesuai dengan rencana, aturan-aturan dan
tujuan yang telah ditetapkan”.
Jenis-Jenis Pengawasan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2001 dijelaskan definisi empat jenis pengawasan yaitu Pengawasan Melekat,
Pengawasan Fungsional, Pengawasan Legislatif, Pengawasan Masyarakat. Adapun
pengertian setiap jenis pengawasan tersebut menurut PP Nomor 20 Tahun 2001
adalah:
1.
Pengawasan Melekat
Pemgawasan
melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai
pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung terhadap
bawahannya secara preventif dan represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut
berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Pengawasan Fungsional
Pengawasan
fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern Pemerintahan
yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pembangunan
agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Sujamto pengertian pengawasan fungsional dalam bukunya “Beberapa
Pengertian di bidang Pengawasan”, yaitu:[3] “Pengawasan fungsional
adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus untuk
membantu pimpinan (manajer) dalam menjalankan fungsi pengawasan di lingkunagan
organisasi yang menjadi tanggung jawabnya. Aparat-aparatnya dinamakan aparat
pengawasan fungsional”.
Definisi lain dari pengawasan fungsional yang dikemukakan oleh
Revrisond Baswir dalam bukunya “Akuntansi Pemerintahan Indonesia” menyatakan
bahwa:[4] “Pengawasan Fungsional
adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional, baik
yang berasal dari lingkungan internal pemerintah maupun yang berasal dari
lingkungan eksternal pemerintah”.
Sedangkan yang dimaksud pengawasan fungsional dalam Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 1 adalah:
“Pengawasan Fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh
Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui
pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian”.
3.
Pengawasan Legislatif
Pengawasan
legislatif adalah pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga
Perwakilan Rakyat terhadap kebijaksanaan dan pelaksanaan tugas-tugas umum
pemerintah dan pembangunan.
4.
Pengawasan Masyarakat
Pengawasan
Masyarakat adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga
masyarakat yang disampaikan secara lisan atau tulisan kepada aparatur
pemerintah yang berkepentingan, berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau
keluhan/pengaduan yang bersifat membangun yang disampaikan baik secara langsung
maupun melalui media.
Sedangkan menurut Baldric Siregar dan Bonni
Siregar dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem
Dana”, menjelaskan bahwa jenis-jenis pengawasan keuangan Negara dapat dibedakan
berdasarkan[5]:
1.
Sifat Pengawasan
2.
Hubungan aparat pengawasan dengan pihak yang
diawasi
3.
Metode pengawasan
Adapun
penjelasan dari hal di atas adalah sebagai berikut:[6]
“1. Sifat Pengawasan
- Pengawasan Preventif : Pengawasan Preventif
adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan terhadap pengelolaan
keuangan Negara sebelum tindakan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan
preventif ialah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan
pengelolaan keuangan Negara.
- Pengawasan Represif : Pengawasan Represif
merupakan pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan terhadap tindakan
pengelolaan keuangan Negara setelah tindakan tersebut dilakukan. Tujuan
pengawasan represif adalah untuk mengidentifikasi apakah terjadi penyimpangan,
tindakan koreksi yang dibutuhkan dan rekomendasi perbaikan dalam pengelolaan
keuangan Negara. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan membandingkan tindakan
pengelolaan keuangan Negara yang telah dilakukan dengan ketentuan pengelolaan
keuangan Negara.
2. Hubungan aparat pengawasan dengan pihak yang
diawasi
- Pengawasan Eksternal : Pengawasan Eksternal
adalah pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang berasal dari unit
organisasi lain selain unit organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat
pengawasan dengan pihak yang diawasi adalah keuanya tidak berbeda dalam satu
unit organisasi yang sama.
- Pengawasan Intern : Pengawasan Intern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh badan atau orang yang ada di lingkungan unit
organisasi yang diperiksa. Hubungan antar aparat pengawasan dengan pihak yang
diawasi adalah keduanya berada dalam satu unit organisasi yang sama.
3. Metode Pengawasan
- Pengawasan Melekat : Pengawasan Melekat
merupakan pengawasan oleh pimpinan yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan
pelaksanaan aktivitas bawahannya.
- Pengawasan Fungsional : Pengawasan Fungsional
adalah pengawasan oleh aparatur fungsional yang dilakukan oleh instansi yang
independent dari unsure yang diawasi.”
Mahkamah
Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki fungsi sebagai
pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan. Fungsi dan pengawasan
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung merupakan tindakan pengawasan, yakni tidak
hanya meliputi fungsi dan kewenangan teknis yustisial dalam kegiatan atau
aktivitas memeriksa dan menyelesaikan serta memutuskan pada tingkat kasasi,
maupun perkara peninjauan kembali, tetapi juga meliputi pengawasan terhadap
tindakan di luar penyelesaian perkara kasasi atau peninjauan kembali maupun
memutus sengketa kewenangan mengadili yang terjadi di antara lingkungan
peradilan.
Namun pengawasan terhadap tindakan di luar
penyelesaian perkara tersebut di atas, bentuk produk yang diterbitkan Mahkamah
Agung tentunya bukan berupa putusan (vonnis,
judgement, award). Akan tetapi berbentuk surat yang bersifat administrasi
yustisial.
1. Produk yang
Diterbitkan Mahkamah Agung dalam Melaksanakan Kekuasaan Pengawasan
Dalam pelaksanaan kekuasaan
pengawasan yang diperankan Mahkamah Agung telah bermunculan produk berupa:
a.
Penetapan
(Beschikking)
Fungsi
pengawasan Mahkamah Agung yang bertujuan memberi perlindungan hukum kepada
pemohon yang mengalami ketidakadilan oleh suatu penetapan yang diterbitkan oleh
Pengadilan yang lebih rendah. Di bawah ini, akan diutarakan beberapa contoh
Penetapan Mahkamah Agung yang menyatakan penetapan Pengadilan Negeri batal atau
tidak mempunyai kekuatan eksekutorial:
i.
Ketetapan No. 5
Pen/Sip/1995, Juni 1975 oleh Ketua Mahkamah Agung R. Subekti.[7]
ii.
Penetapan No.
01/Pen/Pdt/1993, tanggal 22 januari 1993, oleh ketua Mahkamah Agung Purwoto S.
Ganda Subrata.
iii.
Penetapan No. 1
Pen/Pdt/2003, tanggal 7 Februari 2003, oleh ketua MA Bagir Manan.
b.
Berbentuk Surat
Selain
berbentuk penetapan, terdapat juga produk yang berbentuk surat yang diterbitkan
Mahkamah Agung dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan. Berbeda dengan
Penetapan tersebut di atas, dalam praktiknya surat dibuat dan ditandatangani
oleh Ketua Muda yang membidangi hukum yang dipermasalahkan. Beberapa contoh
surat yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung ialah sebagai berikut:
i.
Surat MA No.
417/548/84/II/Um Tu/Pdt. Tanggal 25 September 1984.
ii.
Surat MA No.
01/Tuada Pdt/III/2006, Tanggal 3 Maret 2006.
2. Mekanisme
Pengawasan Penyelenggaraan Peradilan
Berkaitan dengan mekanisme pengawasan
terhadap penyelenggaraan peradilan diatur dalam Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU MA
serta Penjelasan Umum Undang-undang di maksud, sebagaimana dikemukakan di bawah
ini:
a.
Meminta keterangan
Pasal 32 ayat (3) UU MA berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dalam teknis peradilan dari semua lingkungan
peradilan.”
Mengenai cara dan bentuk permintaan
serta pemberian keterangan dari pihak yang diminta, dapat dikemukakan acuan
berikut;
1)
Memanggil pihak
yang bersangkutan untuk diminta keterangan secara lisan (oral);
2)
Meminta keterangan
secara tertulis. Berdasarkan keterangan tertulis tersebut, Mahkamah Agung
mengeluarkan surat yang berisi pernyataan hukum atau pendapat atau nasihat
hukum kepada pihak yang berkepentingan.
b.
Memberi Petunjuk,
Teguran atau Peringatan
Dalam rangka pengawasan
penyelenggaraan jalannya peradilan, Mahkamah Agung dapat menggunakan kewenangan
tersebut melalui cara-cara berikut:
1.
Secara ex officio,
yakni Mahkamah Agung memiliki kapasitas resmi memberi pentunjuk, teguran atau
peringatan kepada badan peradilan yang ada di bawahnya secara ex officio.
2.
Atas permintaan
pengadilan, cara yang kedua ialah berdasarkan permintaan pengadilan yang
terlibat atas suatu masalah. berdasarkan permintaan itu, mahkama agung memberi
petunjuk dan nasihat hukum kepada pengadilan yang meminta, namun hal itu tidak
mengurangi kewenangan Mahkamah Agung dalam memberi teguran atau peringatan.
Berdasarkan permohonan perlindungan hukum dari
pencari keadilan, terutama yang menyangkut permasalahan penyitaan, penahanan,
penggeledahan dalam perkara pidana. bagitu juga dalam bidang perdata, sering
diajukan permohonan perlindungan hukum yang me
[5] Baldric
Siregar dan Bonni Siregar,
Akuntansi Pemerintahan
dengan Sistem Dana Akuntansi Pemerintahan dengan Sistem Dana, Tahun 2000, hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar