Setia Dharma, S.H.
Dalam hukum acara perdata
diatur mengenai sita jaminan, yang pada hakikatnya adalah menjamin kepastian
hukum atas hak penggugat dan melindungi penggugat dari itikad tidak baik
tergugat ketika gugatan penggugat dikabulkan. Kepastian hukum dalam hal ini
terkait erat dengan pelaksaan putusan pengadilan ketika gugatan dimenangkan,
karena akan sia-sia gugatan jika tidak dapat dilaksanakan hanya karena tidak
ada jaminan harta/benda tergugat atas pemenuhan gugatan tersebut.
Menurut Yahya Harahap, pada intinya sita merupakan
tindakan yang didasarkan atas perintah pengadilan untuk menempatkan harta
kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan selama dalam
proses pemeriksaan pengadilan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dengan tujuan utama agar harta kekayaan tergugat tidak
dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli, hibah dan sebagainya.[1]
Menurut Pasal 226 dan Pasal 227
HIR atau 720 RV, maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 1975[2] sita jaminan tidak dapat ditetapkan dan
putuskan oleh hakim tanpa adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita
atas harta/benda baik bergerak mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini
merupakan penerapan salah satu asas dalam hukum acara perdata, bahwa hakim
bersifat pasif. Artinya, hakim tidak bisa memutus atau menetapkan tentang
sesuatu hal tanpa diminta oleh penggugat.
Dengan kata lain sita jaminan
yang dilakukan terhadap harta tergugat haruslah berdasarkan permohonan yang
diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan negeri dimana kasus tersebut
disidangkan, pengajuan sita jaminan diatur dalam Pasal 127 (1) HIR, yang
intinya menyatakan bahwa sita jaminan dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum
dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, tetapi putusan tersebut belum dapat
dijalankan.[3]
Mengenai tujuan pokok
penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan pokok penyitaan. Pertama, agar
terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat, sehingga pada
saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus memberi jaminan kepastian bagi
penggugat, objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum tetap”.[4]
Dilihat dari tujuan pokok
tersebut, dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum
dan perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya
hak penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil
gugatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar