Kamis, 26 September 2013

ITIKAD BAIK MENURUT HUKUM

 Oleh: Setia Dharma, SH.


Itikad Baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Selanjutnya akan disebut KUHP), Untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya akan disebut KUHPer). Mengenai itikad baik dalam KUHPer Pasal 1338 ayat 3dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUHPer dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”.

Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa[1]: "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa dipengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary.

Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”[2].
Dalam Black’s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense.”[3]. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut[4]: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai berikut[5]:
Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.


Itikad baik secara subyektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti obyektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa[6]: " Itikad baik subyektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik obyektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik".

Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwana Khairandy bahwa[7]: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.
Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut.



[1] Faiz, Muhammad. Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan. www.panmuhamadfaiz.co. 12 September 2006
[2] Khoirul. Hukum Kontrak. Slide 1. Ppt. Http//: Sunan-ampel.ac.id
[3] Ibid.
[4] Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia. 1993. Hal.112
[5] Nur, Muliadi. Asas Kebebasan Berkontrak dalam Kaitannya dengan Perjanjian Baku (Standard Contract). www.pojokhukum.com
[6] Faiz, Muhammad. Kemungkinan diajukan Perkara… Op.cit.
[7] Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Pasca Sarjana FH-UI. 2003. Hal. 190

OBJEK PENGAWASAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SEMUA LINGKUNGAN PERADILAN

OBJEK PENGAWASAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP SEMUA LINGKUNGAN PERADILAN
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.

Mengenai objek pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi diatur pada Pasal 32 ayat (1)  Undang-Undang No. 3 Tahun 2009  Tentang  Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Selanjutnya disebut UU MA).  Pasal 32  ayat (1) UU MA berbunyi:
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman.”
Selain itu, mengenai objek pengawasan oleh Mahkamah Agung  juga diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman), yang berbunyi:
Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Selanjutnya akan dijelaskan mengenai hal-hal yang menjadi objek pengawasan oleh Mahkamah Agung, sebagai berikut:           
a.         Mengawasi Penyelenggaraan Peradilan Dalam Menjalankan Kekuasaan Kehakiman
Objek pengawasan yang pertama ditujukan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan. Apakah semua lingkungan peradilan dalam kedudukannya sebagai kekuasaan kehakiman (judicial power) telah benar-benar menjalankan penyelenggaraan peradilan seseuai dengan prinsip-prinsip yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan. Prinsip-prinsip pokok kekuasaan kehakiman yang harus diawasi Mahkamah Agung terhadap semua lingkungan peradilan antara lain:[1]
1)      Mengawasi eksistensi semua lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang bebas (judicial independency).
Objek pertama yang harus diawasi Mahkamah Agung ialah dalam rangka penyelenggaraan peradilan yang ditujukan terhadap penegakan prinsip kemerdekaan dan kebebasan semua peradilan dari segala bentuk campur tangan atau intervensi kekuasaan manapun dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman. Hal tersebut telah digariskan pada Pasal 24 ayat (1) UUD tahun 1945 yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Begitu pula Pasal 1 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Selain pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan yang bebas dan merdeka dari campur tangan, Mahkamah Agung juga harus mengawasi apakah kebebasan dan kemerdekaan tersebut tidak diselewengkan atau disalahgunakan oleh badan peradilan atau hakim yang melaksanakan fungsi peradilan.
2)      Mengawasi semua lingkungan peradilan atas penyelenggaraan supremasi hukum.
Pada dasarnya pengawasan Mahkamah Agung terhadap kebebasan atau kemerdekaan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, sekaligus berkaitan dengan pengawasan  lingkungan peradilan atas penegakan prinsip supremasi hukum dan asas imparsialitas yakni apakah semua lingkungan peradilan dalam penyelenggaraan peradilan benar-benar berpihak kepada hukum dengan sikap dan pendirian yang tidak berpihak kepada penguasa, korporasi besar, orang kaya, kelompok tertentu dan sebagainya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman.
3)      Mengawasi semua lingkungan peradilan atas penyelenggaraan penegakan prinsip perlakuan yang sama.
Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, harus menegakkan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua anggota masyarakat sesuai dengan jiwa dan nilai pada pasal 28 D UUD tahun 1945 jo. Pasal 4 UU Kekuasaan Kehakiman.
4)      Mengawasi semua lingkungan peradilan atas peran mereka sebagai katup penekan.
Berdasarkan prinsip ini, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus mampu menjadi katup penekan terhadap semua pelanggaran dalam segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional, melanggar ketertiban umum dan kepatutan.
5)      Mengawasi penyelenggaraan hak imunitas dalam menjalankan kekuasaan kehakiman
Pengawasan terhadap penyelenggaraan hak imunitas sangat erat kaitannya dengan pengawasan terhadap kebebasan/kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang dijalankan semua lingkungan peradilan. Memang kepada pengadilan dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diberikan perlindungan dengan hak imunitas. Namun, Mahkamah Agung harus cermat melakukan pengawasan, agar hak imunitas tersebut diimbangi dengan integritas profesionalisme yang didukung oleh kejujuran dan moral yang tinggi oleh para hakim dan hakim agung.


b.        Mengawasi Tingkah Laku Dan Perbuatan Para Hakim Dalam Menjalankan Tugas
Objek lain yang harus diawasi Mahkamah Agung adalah tingkah laku para hakim dalam menjalankan tugas. Hal tersebut diutarakan dalam Pasal 32A ayat (1) UU MA yang berbunyi: “Pengawasan internal atas tingkah laku hakim agung dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Pada pasal ini tidak diterangkan apa yang dimaksud dengan tingkah laku. Namun menurut WJS Poerwadarminta mengartikan tingkah laku adalah ‘kelakuan’ atau ‘perbuatan’.[2] Dan yang menjadi objek pengawasan oleh Mahkamah Agung meliputi semua bentuk tingkah laku dan perbuatan yang tidak wajar, tidak benar, tidak pantas atau tercela serta tindakan yang merongrong kewibawaan dan martabat pengadilan, baik hal itu yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan tugas peradilan atau tidak.




[1]Ibid., hlm. 119-126.
[2]Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, Tahun 1976, hlm. 1077.

Selasa, 24 September 2013

PENGERTIAN KOPERASI DAN PRINSIP-PRINSIP KOPERASI



Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.


1.        Pengertian Koperasi
Dilihat dari segi bahasa, secara umum koperasi berasal dari kata Latin yaitu Cum yang berarti dengan, dan Aperari yang berarti bekerja. Dari dua kata ini, dalam bahasa Inggris dikenal istilah Co dan Operation[1], yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Cooperative Vereneging yang berarti bekerja bersama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu.[2]
Kata Co Operation kemudian diangkat menjadi istilah ekonomi sebagai Kooperasi yang dibakukan menjadi suatu bahasa ekonomi yang dikenal dengan istilah koperasi, yang berarti organisasi ekonomi dengan keanggotaan yang sifatnya sukarela.
Definisi koperasi menurut Rochdale adalah: [3]
.... sekumpulan orang yang bersepakat untuk bersama-sama menjalankan (menyelenggarakan) suatu badan usaha atau perusahaan yang dimiliki dan diselenggarakan oleh mereka sendiri secara demokratis berdasarkan pola dan peraturan tertentu untuk memperbaiki keadaan mereka dan masyarakat....”.
Menurut R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma  koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi ekonomi yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan, yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota menurut peraturan yang ada; bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan suatu usaha, dengan tujuan mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya”.[4]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia koperasi diterjemahkan dengan perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan dengan harga murah (tidak bermaksud mencari untung).[5]
Arifinal Chaniago mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan bekerjasama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.[6]
Kemudian menurut Moh. Hatta “Bapak Koperasi Indonesia” mendefinisikan koperasi merupakan usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong. Semangat tolong menolong tersebut didorong oleh keinginan memberi jasa kepada kawan berdasarkan ‘seorang buat semua dan semua buat seorang’.[7]
Jika koperasi dipandang dari sudut organisasi ekonomi, pengertian koperasi dapat dinyatakan dalam kriteria identitas yaitu anggota sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan. Ropke menjelaskan, “Koperasi adalah suatu organisasi bisnis yang para pemilik/anggotanya adalah juga pelanggan utama perusahaan tersebut. Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil/prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lain”.[8]
 Sejalan dengan pendapat Ropke, Muenkner memberikan difinisi koperasi sebagai organisasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut: [9]
1)             Adanya sekelompok orang yang menjalin hubungan antara sesamanya atas dasar sekurang-kurangnya satu kepentingan yang sama (kelompok koperasi);
2)             Adanya dorongan (motivasi) untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok guna memenuhi kebutuhan ekonomi melalui usaha bersama atas dasar swadaya dan saling tolong menolong (motivasi swadaya);
3)             Adanya perusahaan yang didirikan dan dikelola secara bersama-sama (perusahaan koperasi); dan
4)             Tugas perusahaan tersebut adalah untuk memberikan pelayanan kepada anggota (promosi anggota).

Keempat ciri tersebut menunjukkan bahwa, kegiatan koperasi (secara ekonomis), harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. koperasi adalah organisasi otonom, yang berada dalam lingkungan sosial ekonomi, yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui aktivitas-aktivitas ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama.[10]
Organisasi Buruh Sedunia International Labor Organization (ILO), dalam resolusinya nomor 127 yang dibuat pada tahun 1966, membuat batasan mengenai cirri-ciri utama koperasi yaitu: [11]
"Cooperative is an association of persons, usually of limited man, who have voluntary jointed together, to achieve a common economic end through the formation of a demokratically controlled business organization, making equitable contribution to the capital required and accepts a fair share of the risks and benefits of the undertaking", yang artinya: (1) Merupakan perkumpulan orang-orang; (2) Yang secara sukarela bergabung bersama; (3) Untuk mencapai tujuan ekonomi yang sama; (4) Melalui pembentukan organisasi bisnis yang diawasi secara demokratis; (5) Yang memberikan kontribusi modal yang sama dan menerima bagian resiko dan manfaat yang adil dari perusahaan di mana anggota aktif berpartisipasi.

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Perkoperasian, Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang, atau Badan Hukum Koperasi, dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan azas kekeluargaan.
Menurut Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa koperasi pegawai negeri adalah koperasi fungsional yang anggotanya berpenghasilan tetap. Dengan adanya penghasilan tetap para anggotanya, maka koperasi tersebut dapat memobilisasi dana dengan menggerakkan simpanan anggota secara teratur.[12]
Lebih lanjut Sumitro mengemukakan bahwa koperasi pegawai negeri adalah koperasi golongan konsumen. Namun demikian, dalam perkembangannya sudah tentu koperasi konsumen bertujuan untuk memelihara kepentingan dan memenuhi kebutuhan para anggotanya (keluarga pegawai negeri sebagai konsumen) dengan menjalankan kegiatan usaha di bidang niaga maupun di bidang produksi dan sebagainya. Apalagi jika mengingat bahwa kesejahteraan pegawai negeri menyangkut serangkaian kebutuhan yang paling dirasakan dewasa ini, yaitu pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan.[13]
2.        Prinsip-prinsip koperasi
Menurut Pasal 5 UU Perkoperasian disebutkan prinsip koperasi, yaitu:
a.         Koperasi melaksanakan prinsip Koperasi sebagai berikut:
(1)      Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
(2)      Pengelolaan dilakukan secara demokratis;
(3)      Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
(4)      Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
(5)      Kemandirian.
b.         Dalam mengembangkan Koperasi, maka Koperasi melaksanakan pula prinsip Koperasi sebagai berikut:
(1)     Pendidikan perkoperasian;
(2)     Kerjasama antarkoperasi.


[1] S. Wojowasito, Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris, (Bandung: Hasta, 1980), hlm. 32.
[2] R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.1 – 2.
[3] Coole, A Century Of Cooperative, E.D.Damanik dan Sularso, Terjemahan Penetapan Peraturan mengenai Perkumpulan Koperasi, L.N.I.Tahun 1927, No. 91,1980),
[4] R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Op.,cit, hlm. 2.
[5] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 460.
[6] Arifinal Chaniago, Perkoperasian Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 25 Lihat juga Arifin Sitio dan Halomoan Tamba, Koperasi; Teori dan Praktik, (Jakarta: Erlangga, 2001), hlm. 17.
[7] Ibid.
[8] Jochen Ropke, Manajemen Strategi Untuk Koperasi dan Organisasi, (Swadaya Bandung: IKOPIN, 2003), hlm. 24
[9] Muenkner H, Pengantar Hukum Koperasi, (Bandung: UNPAD, 1989), hlm. 40
[10] Alfred Hanel, Organisasi Koperasi, (Jakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm. 30.
[11]Soedarsono Hadisapoetra, Pokok-Pokok Pikiran Pengembangan Koperasi di Indonesia, (Jakarta: CV. Sapta Caraka, 1986), hlm. 104.
[12] Sutrisno Hadi, Metodology Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 63.
[13] Rachmat Sumitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf,  (Bandung: Erisco,1993), hlm. 82.