Selasa, 10 Juni 2014

SITA JAMINAN HARUS DIMOHONKAN DEMI KEPASTIAN HUKUM BAGI PENGGUGAT

Oleh:
Setia Dharma, S.H.





Dalam hukum acara perdata diatur mengenai sita jaminan, yang pada hakikatnya adalah menjamin kepastian hukum atas hak penggugat dan melindungi penggugat dari itikad tidak baik tergugat ketika gugatan penggugat dikabulkan. Kepastian hukum dalam hal ini terkait erat dengan pelaksaan putusan pengadilan ketika gugatan dimenangkan, karena akan sia-sia gugatan jika tidak dapat dilaksanakan hanya karena tidak ada jaminan harta/benda tergugat atas pemenuhan gugatan tersebut.
Menurut Yahya Harahap, pada intinya sita merupakan tindakan yang didasarkan atas perintah pengadilan untuk menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan selama dalam proses pemeriksaan pengadilan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tujuan utama agar harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli, hibah dan sebagainya.[1]
Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau 720 RV, maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 1975[2]  sita jaminan tidak dapat ditetapkan dan putuskan oleh hakim tanpa adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita atas harta/benda baik bergerak mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini merupakan penerapan salah satu asas dalam hukum acara perdata, bahwa hakim bersifat pasif. Artinya, hakim tidak bisa memutus atau menetapkan tentang sesuatu hal tanpa diminta oleh penggugat.
Dengan kata lain sita jaminan yang dilakukan terhadap harta tergugat haruslah berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan negeri dimana kasus tersebut disidangkan, pengajuan sita jaminan diatur dalam Pasal 127 (1) HIR, yang intinya menyatakan bahwa sita jaminan dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan.[3]
Mengenai tujuan pokok penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan pokok penyitaan. Pertama, agar terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum tetap”.[4]
Dilihat dari tujuan pokok tersebut, dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum dan perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya hak penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya.


[1] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), hlm. 282-285
[2] Ibid, 287
[3] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan praktek, (Bandung:Mandar maju, 2009), hlm. 100
[4] Yahya Harahap,  Hukum  Acara Perdara, Loc.cit.

Rabu, 21 Mei 2014

PENGERTIAN PRODUKSI DAN PEREDARAN MENURUT UNDANG-UNDANG PSIKOTROPIKA



Oleh: ARIF RAHMAN, SH

Pengertian produksi dalam Pasal 1 angka 3 UU Psikotropika tidak hanya kegiatan membuat psikotropika, akan tetapi lebih luas dari itu yaitu berupa kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas dan/atau mengubah bentuk psikotropika.
Kegiatan memproduksi juga termasuk jika seseorang melakukan penyediaan bahan-bahan untuk diolah menjadi psikotropika karena sudah melakukan proses persiapan walaupun bahan-bahannya belum diolah. Demikian pula membungkus obat-obat yang tergolong psokotropika termasuk perbuatan memproduksi walaupun tidak mengolah atau membuat psikotropika.[1]
Untuk memproduksi psikotropika yang diperbolehkan ialah pabrik obat dan wajib berpedoman pada Pasal 7 UU Psikotropika. Terdapat dua syarat yang wajib dipenuhi dalam memproduksi psikotropika, yaitu:
1.      Psikotropika yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat;
2.      Psikotropika harus memenuhi standar dan/atau persyaratan farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. Sedangkan yang dimaksud farmakope adalah buku teknis yang memuat standar atau persyaratan mutu yang berlaku bagi setiap obat atau bahan obat yang digunakan di Indonesia.
Menurut Pasal 6 UU Psikotropika melarang siapapun untuk memproduksi psikotropika golongan I. Oleh karena, psikotropika golongan I tidak dapat digunakan dalam terapi dan mempunyai potensi amat kuat dan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Pengertian peredaran diatur Pasal 1 angka 5 UU Psikotropika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan. Namun ruang lingkup peredaran psikotropika diperluas, baik yang berhubungan dengan kegiatan perdagangan maupun bukan perdagangan termasuk pemindahtanganan.
UU Psikotropika membatasi pihak-pihak yang dapat menjadi penyalur psikotropika sebagaimana ditentukan Pasal 12 ayat (1), yakni:
1.      Pabrik obat;
2.      Pedagang besar farmasi;
3.      Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah yaitu sarana yang mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan milik pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, TNI/Polri dab BUMN dalam rangka pelayanan kesehatan.
Terdapat 5 (lima) pihak yang diberi wewenang untuk melakukan penyerahan psikotropika, sebagai berikut:
1.      Apotek;
2.      Rumah sakit;
3.      Puskesmas;
4.      Balai pengobatan; dan
5.      Dokter.


[1] Gatot Supramono, Op.,cit, hlm. 24

Kamis, 15 Mei 2014

PEREDARAN GELAP PSIKOTROPIKA DI INDONESIA SERTA JENIS TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP PSIKOTROPIKA



Oleh: ARIF RAHMAN, SH

A.                Peredaran Gelap Psikotropika Di Indonesia
Di Indonesia telah mengenal candu sebagai salah satu jenis narkotika yang telah dipergunakan oleh sebagian kecil masyarakat. Tidak diketahui negara yang pertama membawa candu ke Indonesia, namun candu diperkenalkan oleh orang India, Arab dan Cina secara sendiri-sendiri.
Menurut Encyclopedie van Nederlandsch Indie (1919) pada awal abad ke-20 pemakai candu di Indonesia terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Candu yang berasal dari buah papaver somniferum L dapat diolah sehingga menghasilkan morfina dan heroina, sedangkan tanaman koka dapat diolah untuk menghasilkan kokain.[1]
Selain candu, ganja merupakan tumbuhan yang mudah tumbuh di daerah tropis dan sudah ada sejak dahulu. Pucuk, daun dan getah tumbuhan ini mengandung zat-zat kimia yang menyebabkan farmokologis yang berbeda-beda dari daerah asal tumbuhan tersebut.
Di Indonesia, tanaman ganja yang berasal dari Aceh sudah memiliki pasar yang luas. Daerah pemasaran diantaranya tempat pariwisata seperti Yogyakarta dan Bali, selain di Aceh dan Sumatera Utara juga pernah terdapat ladang di Rejang Lebong, Ogan Komering Ulu, Lahat, Cianjur, Subang, Wonosobo, Yogyakarta, Mojokerto dan Purbalingga.[2] 
Data peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika sejak Tahun 2004 sampai Maret 2009 yang tercatat di Mabes Polri sebagai berikut: Wakil Direktur IV Mabes Polri Ajun Komisaris Besar Arnowo menjelaskan, untuk kasus narkotika (ganja, heroin, kokain, dan sebagainya) tercatat berjumlah 45.451 kasus, psikotropika (ecstasy, sabu, daftar G) berjumlah 38.125 kasus, dan jenis baya (minuman keras, kosmetik, obat palsu, dan sejenisnya) berjumlah 17.440 kasus.[3]
Jumlah tersangka Narkotika yang tercatat berjumlah 66.541, sedangkan tersangka Psikotropika 55.381 tersangka, dan baya 33.895 tersangka. Tersangka terdiri dari:  pria sebanyak 143.584 orang dan wanita 12.233 orang, serta 413 orang warga negara asing.
 Berdasarkan tingkat pendidikan tingkat SLTA berada di peringkat teratas dengan 98.614 orang, disusul SLTP 35.536 orang, SD 17.194 orang, dan Perguruan Tinggi 4.469 orang. Sedangkan berdasar tingkat usia, kata Arnowo, peringkat pertama adalah usia di atas 30 tahun sebanyak 73.299 orang, usia 25-29 tahun sebanyak 39.077 orang, usia 20-24 tahun 32.896 orang, usia 16-19 tahun 9.897, dan usia di bawah 15 tahun 658 orang.
Jumlah barang bukti narkotika yang disita selama lima tahun terakhir. Untuk ganja disita sekitar 99 ton, heroin sekitar 90 kg, dan kokain sekitar 9,5 kg. Barang bukti psikotropika yang disita, untuk ecstasy 3.410.000 tablet, sabu sekitar 2,9 ton, dan daftar G sebanyak 14.441.946 tablet.


B.            Jenis Tindak Pidana Peredaran Gelap Psikotropika
Tindak pidana yang diatur di dalam UU Psikotropika, dilihat dari segi bentuk perbuatannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut:[4]
1.      Kejahatan yang menyangkut produksi psikotropika;
2.      Kejahatan yang menyangkut peredaran psikotropika;
3.      Kejahatan yang menyangkut ekspor dan impor psikotropika;
4.      Kejahatan yang menyangkut penguasaan psikotropika;
5.      Kejahatan yang menyangkut penggunaan psikotropika;
6.      Kejahatan yang menyangkut pengobatan dan rehabilitasi psikotropika;
7.      Kejahatan yang menyangkut label dan iklan psikotropika;
8.      Kejahatan yang menyangkut transito psikotropika;
9.      Kejahatan yang menyangkut pelaporan kejahatan di bidang psikotropika;
10.  Kejahatan yang menyangkut sanksi dalam perkara psikotropika;
11.  Kejahatan yang menyangkut pemusnahan psikotropika. 



[1] Rachman Hermawan S,  Penyalahgunaan narkotika oleh Para Remaja, (Bandung: Eresco, 1987), hlm. 7-10.
[2] Sumarno Ma’Sum, Op.,cit, hlm. 49-50.
[3] www.kompas.com, diunduh tanggal 31-03-2013.
[4] Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 66.