Senin, 26 September 2016

Ketentuan Yang Harus Ditaati Pemerintah Daerah Pada Saat Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.
Bahwa pembangunan terus dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, sehingga dibutuhkan lahan guna pembangunan demi kepentingan umum. Untuk memenuhi kebutuhan atas tanah, maka perlu adanya pengadaan tanah.

Yang dimaksud pengadaan tanah ialah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.

Pasal 10 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
                              
 “Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a.      pertahanan dan keamanan nasional;
b.      jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
c.       waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d.      pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e.       infrastrusktur minyak, gas dan panas bumi;
f.        pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;
g.      jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h.      tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i.        rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j.        fasilitas keselamatan umum;
k.      tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l.        fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m.    cagar alam dan cagar budaya.

Perlu ditegaskan jika penyelenggaraan pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat. Selain itu, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana dikatakan dalam Pasal 9 UU 2/2012.

Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012). Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012).

Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik tersebut (Pasal 63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).

Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012).

Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Panitia Pembebasan Tanah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012). Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2/2012).

Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012).

Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012). Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012).

Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4) UU 2/2012).

Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan (Pasal 38 ayat (5) UU 2/2012).

Jika pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah (Pasal 39 UU 2/2012).

Penggusuran tidak dapat dilakukan serta merta, karena pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah berkewajiban melepaskan tanah tersebut pada saat setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. ( Pasal 5 UU 2/2012)

Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI pada warga di Luar Batang, KAMPUNG PULO, warga BUKIT DURI, warga RAWAJATI, warga Pasar Ikan kampung Aquarium di Penjaringan Jakarta Utara, Kalijodo serta warga yang bermukim di sekitar Waduk Pluit harusnya memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat sebagai pihak yang berhak harus diberi jaminan memperoleh ganti kerugian.
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. (Pasal 36 UU 2/2012)

Demikian, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar