Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.
Bahwa
pembangunan terus dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,
sehingga dibutuhkan lahan guna pembangunan demi kepentingan umum. Untuk
memenuhi kebutuhan atas tanah, maka perlu adanya pengadaan tanah.
Yang dimaksud
pengadaan tanah ialah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti
kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Pasal 10 Undang-Undang
No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum
“Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a.
pertahanan dan keamanan nasional;
b.
jalan umum,
jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api;
c.
waduk,
bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d.
pelabuhan,
bandar udara, dan terminal;
e.
infrastrusktur
minyak, gas dan panas bumi;
f.
pembangkit,
transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;
g.
jaringan
telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h.
tempat
pembuangan dan pengolahan sampah;
i.
rumah sakit
Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j.
fasilitas
keselamatan umum;
k.
tempat
pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l.
fasilitas
sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m.
cagar alam
dan cagar budaya.
Perlu ditegaskan jika penyelenggaraan pengadaan tanah untuk Kepentingan
Umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat. Selain itu, pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang
layak dan adil sebagaimana dikatakan dalam Pasal 9 UU 2/2012.
Penilaian
besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk
kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012).
Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat
pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 34
ayat (1) UU 2/2012).
Penetapan
besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik tersebut (Pasal
63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum).
Nilai ganti kerugian
berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan
ganti kerugian (Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012).
Penentuan
bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Panitia
Pembebasan Tanah dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari (Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012). Pihak yang berhak adalah
pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU
2/2012).
Hasil
kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada
pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara
kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012).
Jika tidak
terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak
yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah musyawarah penetapan ganti
kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012). Pengadilan negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012).
Jika ada
pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang
keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat
(3) UU 2/2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima (Pasal
38 ayat (4) UU 2/2012).
Putusan
pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan
(Pasal 38 ayat (5) UU 2/2012).
Jika pihak
yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak
mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1)
UU 2/2012, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan
besarnya ganti kerugian hasil musyawarah (Pasal 39 UU 2/2012).
Penggusuran
tidak dapat dilakukan serta merta, karena pemilik tanah atau pihak yang
menguasai tanah berkewajiban melepaskan tanah tersebut pada saat setelah
pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap. ( Pasal 5 UU 2/2012)
Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI pada warga di Luar Batang, KAMPUNG
PULO, warga BUKIT DURI, warga RAWAJATI, warga Pasar Ikan kampung Aquarium di
Penjaringan Jakarta Utara, Kalijodo serta warga yang bermukim di sekitar Waduk
Pluit harusnya memperhatikan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku. Masyarakat sebagai pihak yang berhak harus diberi jaminan memperoleh
ganti kerugian.
Pemberian
Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a.
uang;
b.
tanah pengganti;
c.
permukiman kembali;
d.
kepemilikan saham; atau
e.
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. (Pasal 36 UU 2/2012)
Demikian,
semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar