Kamis, 27 Oktober 2016

Deskripsi Pidana Mati Bagi Pengedar Psikotropika Golongan I Menurut Pasal 59 Ayat (2) UU Psikotropika

Oleh: Arif Rahman, S.H.
Pengedaran Psikotropika golongan I secara ilegal dan terorganisasi
Disebutkan dalam pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Psikotropika:[1]
(1). Barang siapa :
a.              Menggunakan Psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasa l4 ayat (2); atau
b.             Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6; atau
c.    Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksuddalam pasal 12 ayat (3); atau
d.             Mengimpor psikotropika golongan I selain ntuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e.              Secara tanpa hak milik, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I
dipidana dengan pidana penjara paing singkat 4 (empat) tahun, paling lama15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2.)Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dari pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan penyalahgunaan psikotropika pada Pasal 59 ayat (I) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 meliputi beberapa hal, yaitu :
1.             Menggunakan psikotropika secara ilegal (tidak dibenarkan oleh hukum).
2.             Memproduksi dan atau menggunakan psikotropika golongan I untuk produksi secara ilegal.
3.             Mengedarkan psikotropika secara ilegal.
4.             Mengimpor psikotropika selain untuk pengetahuan.
5.             Secara tanpa hak menyimpan atau membawa psikotropika golongan I.
Dan dasar hukum yang melegalkan pelaksanaan hukuman mati bagi pengedar psikotropika golongan I adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (2) ditegaskan:
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”[2]
Jadi tindak pidana produksi, pengimporan, dan pengedaran psikotropika golongan I yang dilakukan secara ilegal dan terorganisir dengan tujuan agar psikotropika golongan I tersebut disalahgunakan, pelakunya dapat dihukum dengan hukuman mati.
Konvensi Wina tahun 1988 mengharuskan semua negara termasuk Pemerintah Republik Indonesia untuk menindak lanjuti dalam suatu hukum nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur tentang alur peredaran psikotropika. Alur peredaran psikotropika telah dikemas dalam suatu sistem pengawasan yang ketat melalui instrument perizinan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan perizinan tersebut dianggap melakukan tindak pidana di bidang psikotropika.[3]
Tindak pidana psikotropika ini, bila ditelaah lebih rinci akan ditemukan beberapa unsur sebagai suatu kejahatan, yakni :
a.       Subjek kejahatan tindak pidana psikotropika dapat digolongkan ke dalam dua bagian. Bagian pertama, bersifat individual, misalnya para pengguna psikotropika tanpa izin, para pengedar ilegal, dan para dokter yang melakukan malpraktik. Bagian kedua, badan-badan hukum yang secara ilegal melakukan peredaran psikotropika tidak sesuai izin yang telah diberikan oleh pejabat yang berwenang.
b.      Objek kejahatan adalah bahan-bahan psikotropika baik dalam bentuk obat maupun dalam bentuk lainnya.
c.       Cara melakukan kejahatan oleh para pengguna psikotropika secara ilegal pada umumnya adalah meliputi tindakan menggnakanh, memiliki, menyimpan, dan membawa psikotropika selain yang ditentukan sesuai dengan keinginannya.
d.      Terhadap badan hukum yang melakukan kejahatan yang bersifat ilegal, dapat digolongkan ke dalam tiga hal yakni :
1.      Memproduksi, melakukan pengangkutan tanpa label.
2.      Mengeluarkan, mengedarkan, menyalurkan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan.
3.      Mengimpor, mengekspor psikotropika selain yang ditentukan.
Demikian pula dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, telah diatur pencegahan peredaran gelap, yakni dengan memperhatikan sistem konstitusi, hukum, dan administrasi, para pihak akan melakukan pencegahan penyalahgunaan dengan:[4]
1.  Membuat peraturan-peraturan nasional guna kepentingan koordinasi dalam tindakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap dengan menunjuk kepada suatu badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi tersebut.
2.         Melakukan kampanye pemberantasan peredaran gelap psikotropika.
3.         Mengadakan kerjasama antara para pihak dan organisasi internasional yang berwenang.

Pengertian tentang kejahatan terorganisasi (organized crime) saat ini sudah tidak lagi merupakan masalah per negara, tetapi sudah merupakan masalah internasional dan transnasional. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya World Ministerial Conference on Organized Crime di Napoli, Italia 21 – 23 Nopember 1994.[5]
Salah satu definisi yang diberikan oleh penegak hukum antara lain : “ organized crime as on going conspiracy, a highly sructure organization having branches in many cities and ruled by a national body called Comission”.[6]Jadi unsur dari kejahatan yang terorganisasi mengandung beberapa hal, yaitu :[7]
1.  Adanya struktur organisasi yang melibatkan pimpinan yang mengontrol jalannya oraganisasi, memiliki metode kerja, dan memiliki wilayah kerja.
2.         Tersebar diberbagai daerah atau dalam arti memiliki cabang-cabang dalam melaksanakan aktivitasnya.
3.        Melakukan aktivitas melawan hukum yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
4.         Cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Maka memberantas kejahatan terorganisasi lebih sulit dibandingkan mengatasi kejahatan yang dilakukan secara individu oleh seorang pelaku kejahatan, karena memiliki sistem dan metode yang lebih terarah.



[1]Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Semarang, 2003, hlm. 8
[2]Ibid.
[3]Siswanto Sunarso, Op. Cit.. hlm. 63.
[4]Ibid, hlm. 64-65
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid., hlm. 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar