Oleh: Arif Rahman, S.H.
Pengedaran
Psikotropika golongan I secara ilegal dan terorganisasi
Disebutkan
dalam pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Psikotropika:[1]
(1). Barang siapa :
a.
Menggunakan Psikotropika golongan
I selain dimaksud dalam pasa l4 ayat (2); atau
b.
Memproduksi dan/atau menggunakan
dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal
6; atau
c. Mengedarkan psikotropika golongan
I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksuddalam pasal 12 ayat (3); atau
d.
Mengimpor psikotropika golongan I
selain ntuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e.
Secara tanpa hak milik, menyimpan
dan/atau membawa psikotropika golongan I
dipidana
dengan pidana penjara paing singkat 4 (empat) tahun, paling lama15 tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah),
dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2.)Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda
sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dari pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa
tindakan penyalahgunaan psikotropika pada Pasal 59 ayat (I) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1997 meliputi beberapa hal, yaitu :
1.
Menggunakan psikotropika secara ilegal (tidak
dibenarkan oleh hukum).
2.
Memproduksi dan atau menggunakan psikotropika
golongan I untuk produksi secara ilegal.
3.
Mengedarkan
psikotropika secara ilegal.
4.
Mengimpor psikotropika selain untuk pengetahuan.
5.
Secara tanpa
hak menyimpan atau membawa psikotropika golongan I.
Dan dasar hukum yang melegalkan pelaksanaan hukuman
mati bagi pengedar psikotropika golongan I adalah ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 59 ayat (2) ditegaskan:
“Jika
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda sebesar Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”[2]
Jadi tindak pidana produksi, pengimporan, dan
pengedaran psikotropika golongan I yang dilakukan secara ilegal dan terorganisir
dengan tujuan agar psikotropika golongan I tersebut disalahgunakan, pelakunya
dapat dihukum dengan hukuman mati.
Konvensi Wina tahun 1988 mengharuskan semua negara
termasuk Pemerintah Republik Indonesia untuk menindak lanjuti dalam suatu hukum
nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur
tentang alur peredaran psikotropika. Alur peredaran psikotropika telah dikemas
dalam suatu sistem pengawasan yang ketat melalui instrument perizinan. Setiap
perbuatan yang bertentangan dengan perizinan tersebut dianggap melakukan tindak
pidana di bidang psikotropika.[3]
Tindak pidana psikotropika ini, bila ditelaah lebih
rinci akan ditemukan beberapa unsur sebagai suatu kejahatan, yakni :
a. Subjek kejahatan tindak pidana psikotropika dapat
digolongkan ke dalam dua bagian. Bagian pertama, bersifat individual,
misalnya para pengguna psikotropika tanpa izin, para pengedar ilegal, dan para
dokter yang melakukan malpraktik. Bagian kedua, badan-badan hukum yang secara
ilegal melakukan peredaran psikotropika tidak sesuai izin yang telah diberikan
oleh pejabat yang berwenang.
b. Objek kejahatan adalah bahan-bahan psikotropika baik
dalam bentuk obat maupun dalam bentuk lainnya.
c. Cara melakukan kejahatan oleh para pengguna
psikotropika secara ilegal pada umumnya adalah meliputi tindakan menggnakanh,
memiliki, menyimpan, dan membawa psikotropika selain yang ditentukan sesuai
dengan keinginannya.
d. Terhadap badan hukum yang melakukan kejahatan yang
bersifat ilegal, dapat digolongkan ke dalam tiga hal yakni :
1. Memproduksi, melakukan
pengangkutan tanpa label.
2. Mengeluarkan, mengedarkan,
menyalurkan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan.
3. Mengimpor, mengekspor psikotropika
selain yang ditentukan.
Demikian pula dalam penjelasan
atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika
1971, telah diatur pencegahan peredaran gelap, yakni dengan memperhatikan
sistem konstitusi, hukum, dan administrasi, para pihak akan melakukan pencegahan
penyalahgunaan dengan:[4]
1. Membuat peraturan-peraturan nasional guna kepentingan koordinasi dalam
tindakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap dengan menunjuk kepada
suatu badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi tersebut.
2.
Melakukan kampanye pemberantasan peredaran gelap psikotropika.
3.
Mengadakan kerjasama antara para pihak dan organisasi internasional yang
berwenang.
Pengertian tentang kejahatan
terorganisasi (organized crime) saat ini sudah tidak lagi merupakan masalah per
negara, tetapi sudah merupakan masalah internasional dan transnasional. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya World
Ministerial Conference on Organized Crime di Napoli, Italia 21 – 23
Nopember 1994.[5]
Salah satu definisi yang diberikan oleh penegak hukum
antara lain : “ organized crime as on going conspiracy, a highly sructure
organization having branches in many cities and ruled by a national body called
Comission”.[6]Jadi unsur dari kejahatan yang
terorganisasi mengandung beberapa hal, yaitu :[7]
1. Adanya struktur organisasi yang melibatkan pimpinan
yang mengontrol jalannya oraganisasi, memiliki metode kerja, dan memiliki
wilayah kerja.
2.
Tersebar diberbagai daerah atau dalam arti memiliki
cabang-cabang dalam melaksanakan aktivitasnya.
3. Melakukan aktivitas melawan hukum yang dilakukan
secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
4.
Cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan
masalah.
Maka memberantas kejahatan
terorganisasi lebih sulit dibandingkan mengatasi kejahatan yang dilakukan
secara individu oleh seorang pelaku kejahatan, karena memiliki sistem dan
metode yang lebih terarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar