Kamis, 20 Oktober 2016

HUKUMAN MATI MENURUT HAK AZASI MANUSIA (HAM)

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.

Pemberlakuan hukuman mati dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kontroversi yang terjadi ditimbulkan oleh adanya pihak yang pro dan kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati ini. Terlepas dari kontroversi tersebut, hukuman mati merupakan hukuman pokok yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain hukuman penjara, kurungan, dan denda.[1]
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari : pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU no. 2/PnPs/1964 yang dipedomani sampai saat ini.
Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan keamanan negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubunga dengan negara asing hingga terjadi perang, pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang, pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinyahuru-hara, pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, pasal 149 k ayat (2) dan pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan dan pasal 444 tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati.24
Dalam perkembangan kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu UU No. 22 /97 tentang Narkotika, UU No. 5 /97 tentang Psikotropika, UU No. 26 /2000 tentang peradilan HAM, UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan UU No. 1/ 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.25
Di luar KUHP, pidana mati sering dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi (Undang-Undang Nomor 11/PnPs/1963) dan pelaku tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976). Setidaknya dalam kurun waktu 1992 – 1997 sejumlah lebih kurang 12 orang telah dijatuhi hukuman mati karena melakukan tindak pidana pembunuhan, pencurian dengan kekerasan, narkotika dan subversi.
Alasan mempertahankan pidana mati karena berbagai produk telah menetapkan secara eksplisit ancaman maksimal pidana mati, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM.
Dalam membaca UUD 1945 tidak bisa sepotong-sepotong, tetapi harus secara utuh. Memang menurut pasal 28 huruf (A) UUD 1945 menyebutkan : “Hak setiap orang untuk hidup”, akan tetapi jika dibaca isi pasal 28 huruf (J) UUD 1945 secara eksplisit mengatakan :”kebebasan setiap orang harus dibatasi oleh Undang-Undang”. Isi lengkap pasal 28 huruf (J) UUD 1945 tersebut antara lain :[2]
1.    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.   Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang denga maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutanyang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
3.   ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Itu berarti, bahwa penerapan pidana mati di berbagai undang-undang adalah merupakan pengejawantahan dari UUD 1945.
Di dalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik dalam KUHP Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada dan tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah diatur dengan jelas. Maka dari sudut hukum (legalistic) tidak ada hal yang harus diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat.
Dalam menyikapi tentang pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku perbuatan kriminal, ada dua kelompok yang berbeda pendapat dan saling bertolak belakang. Kelompok yang pertama yaitu kelompok yang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati. Alasan kelompok ini bahwa
1.         Tujuan dari pemidanaan disamping melindungi masyarakat juga memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana. Jadi jika hukuman mati diterapkan, akan sangat bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.[3]
2.         Karena mati itu cuma sekali. Bilamana keliru, maka tidak dapat diperbaiki lagi.[4]
3.         Tugas negara adalah melindungi warga negaranya. Jadi dalam kondisi apapun negara berkewajiban mempertahankan nyawa warga negara. Jika tidak sanggup melindungi nyawa warga negaranya, hal itu akan sangat merendahkan kewibawaan negara sebagai abdi dan pilindung masyarakat.[5]
4.         Sebagian pendukung kelompok ini juga berpendapat bahwa hukuman mati tidak menjamin tindak kejahatan tersebut dapat hilang. Kenyataan yang terjadi setelah pidana mati tersebut diterapkan masih banyak orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.[6]
5.         Hukuman mati bersifat abadi, artinya apabila telah dilaksanakan, maka tidak bisa dirubah. Jika ternyata kemudian bahwa keputusan tentang hukuman tersebut tidak mempunyai dasar yang benar (salah) maka orang tersebut sudah terlanjur meninggal.[7]
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati. Kelompok ini mengaitkan pemberlakuan hukuman mati dengan tiga tujuan hukum, yaitu :[8]
1.         Keadilan.
Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll).
2.         Kepastian hukum.
Dari aspek kepastian hukum yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan, tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tanpa pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh presiden.
3.         Manfaat atau kegunaan.
Dari aspek manfaat atau kegunaan hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah.

Berkaitan dengan hak asasi manusia kelompok ini mengemukakan bahwa hak asasi juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban, yaitu hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak, hak seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak orang lain. Apabila seseorang telah dengan sengaja menghilangkan hak hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup itu bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan dan dibela.
Selain di Indonesia, masih ada negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Prancis yang mencantumkan hukuman mati di dalam undang-undang hukum pidananya. Belanda sendiri yang merupakan negara asal dari hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini, sudah sejak lama menghapuskan pidana mati ini dari undang-undang hukum pidananya. Sejak tahun 1870 KUHP Belanda telah tidak lagi mencantumkan pidana mati.[9]
Karena penerapan pidana mati telah mempunyai legitimasi konstitusional, maka pemberlakuan hukuman mati di Indonesia pun tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terpidana mati, sebab kriteria atau unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) telah secara eksplisit diatur dalam pasal 9 UU No. 26 tentang Pengadilan HAM.[10]Tindak kejahatan pembunuhan, narkoba, terorisme adalah perbuatan yang merusak apa yang harus dan wajib dipelihara. Maka hukuman yang tepat bagi pelakunya adalah hukuman mati.




[1]Abdu Al Qodir Audah, Al Tasyri’ Al Jana’iy Al Islamy juz 1, Dar Al Katib Al Araby, Beirut, tt., hlm. 2.
24 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 13.
[3]Andi Hamzah, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984). hlm. 36.
[4]Zamhari Abidin, Pengertian Dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema Dan Synopsis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). hlm. 89.
[5]Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 36.
[6]Ibid.
[7]Ahmad Hanafi,, Op. Cit.,, hlm. 299.
[9]Harmien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 23.
[10]Ibid. hlm. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar