Senin, 17 Oktober 2016

TEORI PEMIDANAAN

(Part.3)
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,

Berikut ini, akan diuraikan mengenai teori gabungan (verenigings theorien) sebagai bagian dari teori pemidanaan sebagai berikut:

3.Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :[1]
       i.          Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
             ii.          Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.  memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.    menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d.   membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:[2]
a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.

Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a). Pencegahan (umum dan khusus), (b). Perlindungan masyarakat, (c). Memelihara solidaritas masyarakat, (d). Pengimbalan/pengimbangan.[4]Selanjutnya Van Bemmelen menyatakanpidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.[5]
Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undangHukum Pidana Tahun 2005, mengenai tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54,yaitu:

a. Pemidanaan bertujuan:
1)        Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normahukum demi pengayoman masyarakat;
2)        Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehinggamenjadi orang yang baik dan berguna;
3)        Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalammasyarakat, dan
4)        Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,
5)        Memaafkan terpidana.

 b.    Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkanmartabat manusia.
Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuanpemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspekpidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut denganmemperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harusmampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban.[6]
Dari sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana danpemidanaan sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwatujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasansemata, atau untuk pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat bahwa tujuanpidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif.
Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga Rdan satu D, yakni:[7]Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. reformasi berartimemperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagimasyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat,juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat ituakan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggarhukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera ataumencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yangpotensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatankarena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:[8] Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berartimenjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yangsama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsisebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahatpenjahatpotensial dalam masyarakat. Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggappemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasipada si terpidana.



[1] Koeswadji, Op.cit, hlm. 11-12
[2] Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 24.
[3] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hlm. 22.
[4] Muladi, Op.cit, hlm. 61.
[5]  OemarsenoAdji , Hukum Pidana,( Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 14.
[6] J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hlm. 22.
[7] Andi Hamzah, 1994, Op. cit, hlm. 28.
[8]Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar