Minggu, 16 Oktober 2016

TEORI PEMIDANAAN

(Part. 2)
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,

Bahwa mengenai teori pemidanaan telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya yakni terdiri dari tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldingstheorien), teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan (verenigings theorien).[1] Selanjutnya akan dijelaskan mengenai teori relatif atau tujuan (doel theorien) sebagai berikut:

2.    Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu :[2]
                         i.          Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);
                       ii.          Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstanemaatschappelijke nadeel);
                     iii.          Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
                     iv.          Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
                       v.          Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan,bahwa:
“Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).”[3]

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.
Filosof Inggris Jeremy Bantham (1748-1832), merupakan tokoh yang pendapatnya dapat dijadilan landasan dari teori ini. Menurut Jeremy Bentham bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat dari pada kesenganan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Mengenai tujuan-tujuan dari pidana adalah:[4]
a.    Mencegah semua pelanggaran;
b.    Mencegah pelanggaran yang paling jahat;
c.    Menekan kejahatan;
d.   Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, teori relatif ini dibagi dua yaitu:a) prevensi umum (generale preventie); b) prevensi khusus (speciale preventie). Mengenai prevensi umum dan khusus tersebut, E. Utrecht menuliskan sebagai berikut: “Prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada umumnya tidak melanggar. Prevensi khusus bertujuan menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar.”[5]
Prevensi umum menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar narapidana jangan mengulangi perbuatannya lagi. Dalam hal ini pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:[6]
a.       tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);
b.      pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
c.       hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d.      pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
e.       pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingankesejahteraan masyarakat.

Selanjut Muladi dan Arief mengatakan bahwa teori relatif (teori tujuan)berporos pada tiga tujuan utama pemidanan, yaitu: Preventif, Deterrence, dan Reformatif. Teori ini diadopsi di Indonesia dan dijadikan dasar teori pemasyarakatan. Namun ternyata teori pemasyarakatan banyak juga kelemahannya. Karena latar belakang pelaku kejahatan dan jenis kejahatan yang beragam.
Dari gambaran di atas, teori tujuan ini juga tidak terlepas dari berbagai kelemahannya. Berkenaan dengan pandangan Jeremy Bantham, bahwa manusia merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Perlu dipersoalkan, karena kejahatan dilakukan dengan motif yang beragam. Tidak semua kejahatan dapat dilakukan dengan rasional, dalam melakukan kejahatan tidak jarang manusia melakukan tidak atas dasarrasionya tapi lebih pada dorongan emosional yang kuat sehingga mengalahkan rasionya. Ini artinya dari sisi motif kejahatan dapat diklasifikasikan atas kejahatan dengan motif rasional dan kejahatan dengan motif emosional.
System hukum pidana Indonesia boleh dikatakan dekat dengan teori tujuan ini. Hal ini terbukti dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan system pemasyarakatan yang kemudian diimplementasikan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Dari rumusan Pasal 54 Rancangan KUHP juga terlihat kedekatan gagasan tersebut dengan teori relatif.



[1]E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), hlm. 157.
[2]Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) hal. 12.
[3] Muladi dan Arief, Op. cit., hlm. 16.
[4]Ibid., hlm. 30-31.
[5]E. Utrecht, Op.cit, hlm. 157.
[6] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. cit, hlm. 17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar