Rabu, 31 Agustus 2016

TUJUAN SITA JAMINAN

Oleh: Setia Dharma, S.H.



Seorang Rekan pernah bertanya padaku, dalam pertemuan yang tidak disengaja di salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta, ia menanyakan “Apakah memohonkan Sita Jaminan terhadap harta Tergugat itu harus?”, tentu saja jawabannya “tidak harus”, karena sangat tergantung pada apa sengketamu. Tapi tentang Sita Jaminan mungkin bisa difahami sedikit dari tulisan singkat ini.
Sita Jaminan pada hakikatnya adalah menjamin kepastian hukum atas hak Penggugat dan melindungi Penggugat dari itikad tidak baik Tergugat ketika gugatan Penggugat dikabulkan, dengan kata lain, Sita Jaminan dilakukan untuk menahan harta Tergugat agar ada dalam penjagaan hukum dan tidak dijual atau dialihkan oleh Tergugat kepada pihak lain, sehingga ketika Tergugat dinyatakan kalah oleh Pengadilan dan harus membayar jumlah tertentu atau melepaskan hak tertentu, maka Sita Jaminan telah tersedia dan sah sebagai jaminannya. Menurut Yahya Harahap, sita merupakan tindakan yang didasarkan atas perintah pengadilan untuk menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan selama dalam proses pemeriksaan pengadilan sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dengan tujuan utama agar harta kekayaan tergugat tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual-beli, hibah dan sebagainya.
Mengenai tujuan pokok penyitaan, Harun Yahya menyatakan bahwa: “Tujuan pokok penyitaan. Pertama, agar terlindungi kepentingan penggugat dari itikad buruk tergugat, sehingga pada saat putusan berkekuatan hukum tetap, gugatan tidak hampa (illusoir). Serta sekaligus memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila putusan berkekuatan hukum tetap”. Dilihat dari tujuan pokok tersebut, dapat dikatakan bahwa sita jaminan memiliki esensi kepastian hukum dan perlindungan dari itikad buruk tergugat untuk dapat menjamin terpenuhinya hak penggugat manakala ia mampu membuktikan kebenaran dari dalil-dalil gugatannya.
Menurut Pasal 226 dan Pasal 227 HIR atau 720 RV, maupun berdasarkan SEMA No.5 Tahun 1975, sita jaminan tidak dapat ditetapkan dan putuskan oleh hakim tanpa adanya pengajuan dari penggugat untuk diletakkan sita atas harta/benda baik bergerak mapun tidak bergerak milik tergugat, hal ini merupakan penerapan salah satu asas dalam hukum acara perdata, bahwa hakim bersifat pasif. Artinya, hakim tidak bisa memutus atau menetapkan tentang sesuatu hal tanpa diminta oleh penggugat.
Dengan kata lain sita jaminan yang dilakukan terhadap harta tergugat haruslah berdasarkan permohonan yang diajukan oleh penggugat kepada ketua pengadilan negeri dimana kasus tersebut disidangkan, pengajuan sita jaminan diatur dalam Pasal 127 (1) HIR, yang intinya menyatakan bahwa sita jaminan dapat dimohonkan oleh penggugat sebelum dijatuhkan putusan atau sudah ada putusan, tetapi putusan tersebut belum dapat dijalankan.

Sita hanyalah sebatas penjagaan benda/harta tergugat sebagai jaminan semata tanpa bisa dieksekusi jika tidak dilandasi dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, perlu putusan pengadilan yang memenangkan penggugat untuk dapat dilakukannya eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan dengan ketentuan bahwa sah dan bergunanya sita dinyatakan dalam amar putusan pokok perkara serta dikeluarkannya surat penetapan sita dari Pengadilan Negeri di mana perkara telah si sidangkan. Secara prosedural eksekusi dapat dilaksanakan dengan telah dipenuhinya ketentuan-ketentuan hukum mengenai eksekusi benda/harta sitaan.

KEPUTUSAN MENTERI SELAKU PEMBINA UTAMA KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 PERIHAL PENUNJUKAN PENGELOLA DAN PELAKSANA SISMINBAKUM, MERUPAKAN KEPUTUSAN MENTERI ATAU KEPUTUSAN PEMBINA UTAMA KPPDK

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,

Teknik penyusunan keputusan diskresi pada pokoknya sama dengan keputusan pada umumnya sebagaimana teknik penyusunan peraturan perundang-undangan khususnya dalam Pasal 54 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 yang berbunyi:
 “Teknik penyusunan dan/atau bentuk keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Daerah Propinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Meskipun teknik penyusunan keputusan pejabat administrasi pemerintahan harus berpedoman pada teknik penyusunan perundang-undangan, akan tetapi mengenai materi muatannya terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu pada keputusan bersifat konkret, individual dan final sedangkan peraturan bersifat mengikat secara umum.
Secara umum, pada pokoknya didalam suatu keputusan telah ada tata naskah kedinasan yang telah baku yang terdiri dari hal-hal sebagai berikut:
a.         Jabatan yang menerbitkan Keputusan;
b.         Nomor keputusan;
c.         Perihal/tentang keputusan;
d.        Konsiderans/pertimbangan;        
e.         Dasar hukum ( bagian mengingat atau memperhatikan);
f.          Diktum (bagian menetapkan atau memutuskan);
g.         Ketentuan peralihan (jika ada);   
h.         Ketentuan mengenai kapan berlakunya keputusan;
i.           Tempat dan tanggal ditetapkannya keputusan;  
j.           Tanda tangan dan cap dinas pejabat yang menerbitkan keputusan.
Berdasarkan Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, maka Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM tidak memenuhi kententuan sebagaimana di atas, berupa:
Pertama, Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 menggunakan kertas berlambang KPPDK, serta nomor keputusan tidak sesuai dengan penomoran yang digunakan oleh menteri.
Kedua, sekalipun perihal/tentang keputusan, konsiderans/ pertimbangan, dasar hukum dan diktum memenuhi ketentuan dalam Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, akan tetapi tanda tangan dan cap dinas yang menerbitkan tidak sesuai dengan jabatannya sebagai menteri.
Ketiga, bahwa berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM merupakan keputusan yang dilakukan oleh menteri dengan jabatan sebagai Pembina Utama KPPDK, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Keempat, berdasarkan uraian tugas dan wewenang pengurus KPPDK tidak dikenal istilah Pembina Utama akan tetapi disebut dengan istilah Penasehat, maka berdasarkan uraian tugas sebagaimana terdapat dalam AD/ART KPPDK maka Pembina Utama tidak memiliki hak untuk mengeluarkan surat Keputusan.
Kelima, apabila Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM merupakan keputusan menteri, maka KPPDK tidak tunduk terhadap keputusan tersebut karena berdasarkan struktur organisasi maupun secara fungsional antara KPPDK dengan Kementerian Hukum dan HAM tidak memiliki korelasi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. KPPDK merupakan badan hukum yang berdiri secara terpisah dan tidak ada kaitan dengan tugas dan wewenang Kementerian.
Keenam, apabila Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM merupakan keputusan Pembina Utama, maka Dirjen AHU maupun PT. SRD tidak tunduk terhadap surat keputusan tersebut, karena sekali lagi perlu ditegaskan sebagai Pembina utama KPPDK maka keputusan yang dikeluarkan hanya berlaku bagi internal KPPDK, yakni pengurus aktif sedangkan Dirjen AHU maupun PT. SRD tidak memiliki hubungan hukum dengan KPPDK.

Ketujuh, berdasarkan uraian di atas maka Penulis memberikan kesimpulan bahwa Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM bukan merupakan keputusan menteri maupun keputusan Pembina utama, karena tidak memenuhi kualifikasi salah satu diantaranya. Dan Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM harus dinyatakan melawan hukum karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Senin, 29 Agustus 2016

TANAH NEGARA versus TANAH RAKYAT

Oleh: Setia Dharma, S.H.

Penyebutan mengenai tanah negara kerap kali kita dengar dilontarkan oleh berbagai pihak, namun apakah mereka yang menggunakan istilah tersebut dalam pengucapannya memang benar mengerti makna dari ‘tanah negara’ atau hanya menggunakan sebagai istilah yang sering didengar tanpa benar-benar memahami makna dan filosofinya. Sangat disayangkan apabila pengucapan mengenai tanah negara sering dilontarkan namun tidak difahami secara mendalam maknanya, sehingga sangat berpotensi melukai hak-hak rakyat. Kekeliruan dalam memahami makna dari keberadaan istilah ‘tanah negara’ akan menimbulkan dampak sosial dan yuridis yang parah dalam tatanan masyarakat dan hukum. Oleh karenanya perlu dipahami secara keseluruhan makna serta sejarah dari penggunaan istilah tanah negara yang di kenal di Indonesia, agar tidak menjadi senjata bagi penguasa yang lalim, agar tidak menimbulkan perampasan hak rakyat yang seharusnya dilindungi oleh negara dan diakui oleh hukum.
Indonesia secara yuridis telah mengatur dengan jelas mengenai tanah bagi bangsanya, atau mengenai tanah bagi rakyatnya, sejak pertama membangun negara sebagai negara merdeka, Indonesia telah memutuskan untuk mengatur mengenai tanah yang dihak-i oleh rakyatnya dan bagaimana mereka dapat memilikinya tanpa harus terusir dengan dalil-dalil ala penjajahan. Namun pada perkembangannya, dengan terbatasnya pengetahuan penguasa mengenai tanah dan enggannya untuk mempelajari tanah dan maknanya bagi kesejahteraan rakyat, negara justru menjajah dengan menggunakan istilah-istilah lama yang sudah tidak relevan digunakan oleh Bangsa Indonesia, yakni “tanah negara”.
Penekanan istilah tanah negara pada tanah-tanah yang ditempati dan dikuasai sah oleh rakyat menciderai nilai-nilai keadilan, dan itu arti juga menciderai hukum itu sendiri karena pada prinsipnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari norma keadilan, karena hukum adalah pengejewantahan dari prinsip-prinsip keadilan. Kebijakan Pertanahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan salah satu kebijakan yang sepenuhnya harus memiliki keberpihakan yang utuh kepada masyarakat demi menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah merupakan bagian utama dalam kebijakan pertanahan yang keberadaannya sangat tergantung pada kemapanan sistem dalam suatu pemerintahan, serta kemapanan pengetahuan pemerintah dan penegak hukum.
Pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah sejatinya harus sejalan dengan cita-cita luhur kebijakan pertanahan Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana cita-cita Bangsa Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 tidak ditemukan istilah tanah negara, tetapi dikenal istilah tanah dikuasai oleh negara sebagaimana Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Begitupula halnya dalam Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan sebutan UUPA tidak dikenal istilah tanah negara. Namun terdapat pengaturan dalam Pasal 2 UUPA yang dibentuk berdasarkan Pasal 33 ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut:
(1)          Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2)          (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a.              mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.             menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c.              menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3)          Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4)          Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan Pasal 2 UUPA tersebut jelas diuraikan batasan hak menguasai negara, dimana negara berdasarkan hak menguasainya memiliki kewenangan untuk mengatur, menyelenggarakan dan menetapkan semua hal terkait pertanahan, baik peruntukan, penggunaan, kepemilikan dan hubungan dalam pertanahan, serta atas dasar hak menguasainya itu pula, negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan kewenangannya dengan tujuan mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
Sebagaimana diketahui, Pasal 33 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 juga memuat istilah ‘dikuasai oleh negara’. Adapun bunyi Pasal 33 ayat (2) adalah sebagai berikut: “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Namun Pasal 33 ayat (2) ini memiliki arti yang berbeda dari ketentuan Pasal 33 ayat 3. Istilah dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (2) diartikan sebagai ‘dimiliki’ dan ‘dikelola’ oleh negara secara langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN. Sementara itu, makna “dikuasai oleh negara”  dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 2 UUPA, sebagai “Hak Menguasai Negara”, yang sesuai dengan penjelasan Umum UUPA, istilah “dikuasai” dalam pasal ini tidak berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia.
Perbedaan makna “dikuasai oleh negara” seperti dimuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI dan UUPA dengan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI tahun 1945  ini, serta ditambah pula dengan keterbatasan pengetahuan yang disertai keengganan untuk mengkaji lebih dalam mengenai ini oleh Penyelenggara Negara sering menimbulkan salah persepsi bagi para penyelenggara negara, yang memandang bahwa hak menguasai negara atas tanah sama dengan hak negara atas cabang produksi yang diurus oleh Badan Usaha Milik Negara, yakni diartikan sebagai milik negara, yang kemudian disebut-sebut dengan istilah “tanah negara”.
            Penyebutan istilah ‘tanah negara’ yang demikian mengakibatkan banyak hak-hak rakyat yang terampas oleh hukum melalui aturan-aturan di bawah undang-undang yang dibuat oleh penyelenggara negara yang tidak mengerti mengenai istilah ‘tanah negara’.  Mereka secara tekstual mengartikan tanah negara sebagai “tanah milik negara” yang dapat diambil begitu saja dari masyarakat yang menempati secara sah dan telah hidup bertahun-tahun di atas tanah tersebut hanya karena secara formal tidak dapat membuktikan surat-surat kepemilikan hak atas tanah tersebut.
Hal-hal tersebut mengingatkan kita pada zaman penjajahan dimana Belanda membuat aturan, bahwa sepanjang masyarakat yang menempati tanah tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut sebagai tanah miliknya, maka tanah tersebut diambil dan dinyatakan sebagati tanah negara. Namun, sejak tahun 1960 hingga hari ini Politik pertanahan yang dilakukan pada zaman Belanda tersebut telah di hapuskan dengan lahirnya UUPA, tapi praktek politik pertanahan zaman Belanda tersebut nyatanya masih berjalan hingga hari ini, walaupun Bangsa Indonesia telah membentuk negara selama 71 tahun.


Semoga bermanfaat.

TUGAS DAN WEWENANG MENTERI HUKUM DAN HAM MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,
A.    Sejarah
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 tentang Pembentukan Departemen-Departemen di Republik Indonesia. Pengumuman Pemerintah tanggal 19 Agustus 1945 tentang Pembentukan Kabinet I, untuk Departemen Kehakiman Republik Indonesia diangkat Prof.DR. MR. SUPOMO sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia pertama kemudian pada tanggal 1 Oktober 1945 Departemen Kehakiman diperluas :
-            Kejaksaan berdasarkan Maklumat Pemerintah tahun 1945 tanggal 1 0ktober 1945;
-             Jawatan Topograpi berdasarkan Penetapan pemerintah tahun 1945 Nomor 1/S.D.

Pada tanggal 5 Juli 1959 keluar DEKRIT Presiden untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Kemudian dibentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) ber-dasarkan Keputusan Presiden Nomor 194 tahun 1961 kedudukan LPHN dipindahkan dari Perdana Menteri ke Departemen Kehakiman Republik Indonesia.
Undang-Undang Pedoman 19 tahun 1964, Lembaran Negara nomor 107 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, berlaku tanggal 31 Oktaber 1964, maka Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi PENGAYOMAN, yang dilaksanakan dalam lingkungan :
1.         Peradilan Umum;
2.         Peradilan Agama;
3.         Peradilan Militer.
4.         Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964, Lembaran Negara Nomor 107 tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dianggap tidak sesuai lagi dengan keadaan, maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan mulai berlaku tanggal 17 Desember 1970 yang menegaskan Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang Merdeka, dilaksanakan oleh:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen mengatur tentang :
1.      Kedudukan Tugas Pokok dan Fungsi Departemen;
2.      Susunan organisasi Departemen: Tugas dan Fungsi Sekretariat Jenderal, Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal, Staf Ahli dan unit-unit Vertikal di Daerah.
Untuk susunan organisasi Departemen Kehakiman Republik Indonesia diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1974, Lampiran 3, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.S.4/3/7 tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kehakiman Republik Indonesia.
Sistem Holding Company ke Sistem Integrated di lingkungan Departemen Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Persetujuan MENPAN Nomor B 477/I/MENPAN/7/ 84 Tanggal 6 Juli 1984 KEPPRES RI Nomor 124/M Tahun 1984 dan KEPMENKEH RI Nomor M.05-PR.07.10 Tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dep. Kehakiman R.I
Akibat Reformasi, dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 136 tahun 1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen.
Kemudian diubah kembali berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir Peraturan Presiden RI Nomor 94 Tahun 2006.
VISI :
“Terwujudnya Sistem dan Politik Hukum Nasional yang mantap dalam rangka tegaknya Supremasi Hukum dan HAM untuk menunjang tercapainya kehidupan masyarakat yang aman, bersatu, rukun, damai, adil, dan sejahtera.”
MISI :
1.        Menyusun Perencanaan hukum;
2.        Membentuk, menyempurnakan, memperbaharui hukum, dan peraturan perundang-undangan;
3.        Melaksanakan penerapan hukum, pelayanan hukum dan penegakan hukum;
4.        Melakukan pembinaan dan pengembangan hukum;
5.        Meningkatkan dan memantapkan pengawasan hukum;
6.        Meningkatkan dan memantapkan kesadaran dan budaya hukum masyarakat;
7.        Meningkatkan dan memantapkan jaringan dokumentasi dan informasi hukum Nasional;
8.        Meningkatkan upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan, dan penghormatan hak asasi manusia;
9.        Melaksanakan penelitian dan pengembangan hukum dan HAM;
10.    Meningkatkan pembinaan sumber daya manusia aparatur hukum;
11.    Meningkatkan dan melindungi karya intelektual dan karya budaya yang inovatif dan inventif;
12.    Meningkatkan sarana dan prasarana hukum.

B.     Tugas
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang hukum dan hak asasi manusia dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
C.     Fungsi
            Kementerian  Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan fungsi:
1.    Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
2.    Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
3.     Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
4.    Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di daerah;
5.    Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan
6.    Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.


Sabtu, 27 Agustus 2016

TINJAUAN TERHADAP SURAT KEPUTUSAN MENTERI SELAKU PEMBINA UTAMA KPPDK No.19/KEP/KPPDK/2000 PERIHAL PENUNJUKKAN PENGELOLA DAN PELAKSANA SISMINBAKUM

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,

A.      PENDAHULUAN
Indonesia pernah mengalami krisis keuangan pada tahun 1998, sehingga banyak perusahaan yang bangkrut akibat inflasi yang tak terkendali. Selain itu stabilitas perekonomian terganggu dan untuk membangkitkan kembali perekonomian di Indonesia, maka perlu adanya perubahan pelayanan administrasi yang lebih efisien khususnya mengenai tata cara:
1.        Pengajuan permohonan dan pemberian pengesahan status badan hukum;
2.        Pengajuan permohonan dan pemberian persetujuan perubahan anggaran dasar;
3.    Penyampaian pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar dan/atau pemberitahuan dan penerimaan pemberitahuan data lainnya.       
Bahwa untuk memberikan pelayanan berkaitan dengan pengesahan badan hukum sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang lebih baik, maka diperlukan sebuah sistem baru selain sistem manual. Sehingga dikembangkanlah sebuah sistem melalui jasa teknologi informasi secara elektronik yang selanjutnya disebut sebagai sistem administrasi badan hukum (SISMINBAKUM).
Guna memberikan garis-garis pedoman (richtlinjnen) pelaksanaan suatu kebijakan (policy) maka dibuatlah Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M-01.HT.01.01.Tahun 2000 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman Dan HAM.
Kemudian diubah dengan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M-04.HT.01.01.Tahun 2001 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman Dan HAM. Selanjutnya berganti nama menjadi Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia yang saat ini telah berubah menjadi Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Permasalahan muncul disebabkan terbit Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia selaku Pembina Utama KPPDK No. 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM kepada KPPDK dan PT.SRD, yang isinya antara lain:
Bahwa untuk melaksanakan SISMINBAKUM sebagaimana dimaksud  dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M-01.HT.01.01.Tahun 2000 tentang Pemberlakuan SISMINBAKUM tersebut,KPPDK dan PT. SRD dipandang memenuhi syarat ditunjuk sebagai pengelola dan pelaksana SISMINBAKUM.
Berdasarkan: 1). Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; 2). Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan No. M-03.PR.07.01.Tahun 2000 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Perundang-undangan (saat ini bernama Kementerian Hukum dan HAM RI); 3). Reglement op het Notaris Ambt in Indonesia (Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia) Stb. 1860, No.3. dan; 4).Bepalingen op her legalisatie van handtekeningen Besluit (Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda) No. 32, tanggal 23 Mei 1909, Stb. 1909 No. 291.
Memutuskan:pertama yakni menunjuk KPPDK dan PT. SRD sebagai pengelola dan pelaksana SISMINBAKUM. Kedua yakni pengelolaan dan pelaksanaan SISMINBAKUM diatur dalam perjanjian kerjasama antara KPPDK dan PT. SRD.Ketiga yakni KPPDK dan PT. SRD dapat mencari anggota sebagai pelanggan SISMINBAKUM. Keempat yakni dalam melaksanakan tugas sebagaimana butir Ketiga, KPPDK dan PT. SRD wajib berkonsultasi dan meminta izin Dirjen AHU. Kelima yakni keputusan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini akan diadakan perbaikan seperlunya.
Adanya Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI (saat ini disebut Menteri Hukum dan HAM) saat itu selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000, tanggal 10 Oktober 2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM kepada KPPDK  dan PT. SRD merupakan hal yang tidak lazim dalam Hukum Administrasi Negara.
Selanjutnyadengan SK tersebut, maka dibuatlah perjanjian kerjasama antara KPPDK dengan PT.SRD No: 135/K/Umum/KPPDK/XI/2000 atau Nomor: 021/Dir/YW-SRD/XI/2000 tanggal 8 November 2000, Tentang Pengelolaan dan Pelaksanaan SISMINBAKUM Direktorat Jenderal Administrasi Badan Hukum, hal inilah yang menjadi latar belakang guna meneliti lebih lanjut Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia selaku Pembina Utama KPPDK No. 19/K/KEP/KPPDK/2000.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.        Apakah tugas dan wewenang Pembina Utama KPPDK menurut AD/ART KPPDK?
2.        Apakah tugas dan wewenang Menteri menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku?

3.       Apakah Keputusan Menteri selaku Pembina Utama KPPDK No: 19/K/KEP/KPPDK/2000 perihal Penunjukan Pengelola dan Pelaksana SISMINBAKUM merupakan Keputusan Menteri atau Keputusan Pembina Utama KPPDK?

Jumat, 26 Agustus 2016

TENTANG ARBITRASE SEBAGAI PILIHAN

Oleh: Setia Dharma, S.H.



Arbitrase adalah salah satu pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan satu-satunya penyelesain sengketa di luar pengadilan yang putusannya ‘final and binding’. Apa itu putusan ‘final and binding’?. Final and binding diartikan sebagai ‘terakhir dan mengikat’. Terakhir, karena putusan arbitrase adalah putusan akhir yang tidak mengenal banding dan kasasi, sehingga proses penyelesaian perkara lebih cepat dan tidak berlarut-larut. Mengikat, karena putusan arbitrase mengikat kedua belah pihak yang bersengketa untuk menaati putusan, selain itu putusan arbitrase sama nilainya dengan putusan pengadilan negeri dan dapat dilakukan eksekusi paksa apabila secara administratif putusan tersebut telah didaftarkan ke pengadilan negeri setempat.
Apakah semua masalah hukum dapat diselesaikan melalui arbitrase?, jawabannya; “tidak”. Karena secara absolut masalah hukum yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah masalah-masalah perdata saja, disertai syarat mutlak ada perjanjian para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase. Artinya, walaupun masalah tersebut adalah masalah perdata, namun tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase tanpa perjanjian arbitrase. Perjanjian Arbitrase adalah perjanjian yang pada salah satu klausulanya menyatakan dengan jelas bahwa kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase apabila penyelesaian melalui jalan musyarah dinyatakan gagal/tidak menemui kesepakatan.
Perjanjian arbitrase dapat saja merupakan satu-kesatuan dengan perjanjian pokok yang menjadi dasar perikatan dua pihak, atau dapat pula merupakan perjanjian tersendiri yang dibuat baik sebelum timbulnya sengketa/perselisihan maupun setelah timbulnya sengketa. Artinya, perjanjian arbitrase tidak selalu harus ada sejak awal, bisa saja ia disepakati oleh kedua belah yang bersengketa setelah timbulnya sengketa dan/atau setelah jalan damai gagal ditempuh.
Perjanjian arbitrase merupakan syarat mutlak untuk dapat diselesaikannya suatu sengketa melalui arbitrase, tanpa adanya perjanjian arbitrase, maka penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak dapat ditempuh.
Apa kelebihan Arbitarse dibanding peradilan perdata?. Penyelesain perselisihan melalui Arbitrase memiliki kelebihan khusus selain ‘final and binding’ sebagaimana diuraikan di atas, Arbitrase juga bersifat rahasia, sehingga persengketaan para pihak tidak perlu menjadi konsumsi publik, dan proses arbitrase-pun tertutup untuk umum, tidak dapat disaksikan oleh pihak luar kecuali dua pihak yang bersengketa dan kuasanya. Kelebihan lainnya adalah dalam sidang arbitrase jadwal sidang dan agenda sidang sudah ditetapkan sejak sidang pertama, sehingga waktu selesainya poses arbitrase dapat dipastikan.
Apa kekurangan penyelesain melalui Arbitrase?. Nah, karena tidak ada sistem yang mampu dibuat sempurna, maka tentu saja arbitrase, dibalik semua kelebihannya juga memiliki beberapa kekurangan. Pertama, biaya administrasi dan biaya penyelesaian perkaranya melalui arbitrase lebih besar daripada melalui Pengadilan Negeri. Kedua, sebagaimana diuraikan diatas, bahwa syarat mutlak untuk menyelesaikan perkara melalui arbitrase adalah adanya perjanjian arbitrase, oleh karenanya pihak ketiga yang terlibat langsung dalam sengketa, namun tidak ada perjanjian arbitrase sebelumnya tidak dapat digugat di arbitrase, tidak seperti berperkara di Pengadilan Negeri, semua pihak yang dianggap terlibat oleh pihak yang dirugikan atau dianggap memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan perkara dapat digugat di Pengadilan Negeri.
Konsekuensi dari kekurangan yang kedua ini ‘sangat fatal’, karena pihak ketiga diluar perjanjian atau pihak ketiga yang tidak turut serta menandatangani perjanjian tidak dapat digugat melalui arbitrase, walaupun terlibat langsung terhadap timbulnya kerugian suatu pihak. Apabila tetap ditarik sebagai pihak walaupun hanya sebagai “turut termohon”, akan berakibat pada putusan sela oleh Majelis arbiter dengan putusan yang isinya: “permohonan arbitrase tidak dapat diterima” dengan pertimbangan kewenangan arbitarse yang pada intinya akan menyatakan bahwa arbitrase tidak berwenang mengadili karena adanya pihak yang ditarik dalam permohonan tanpa adanya perjanjian.
Dalam prakteknya, walaupun Pemohon atau pihak yang menarik pihak ketiga tersebut mampu membuktikan keterkaitan pihak ketiga, namun tetap saja tidak dapat dijadikan turut tergugat maupun tergugat. Padahal dalam suatu perkara, seringkali keberadaan suatu pihak sangat penting untuk memperjelas suatu perkara sekaligus juga sangat penting untuk menariknya sebagai salah seorang dimintai pertanggungjawab perdata karena perannya secara langsung mapun tidak langsung yang mengakibatkan kerugian orang lain.

Terdapat ketentuan dalam UU arbitrase yang menyatakan bahwa dalam hal adanya pihak ketiga yang tidak ada dalam perjanjian, apabila pihak ketiga yang ditarik tidak keberatan atau kedua pihak yang bersengketa tidak keberatan akan adanya intervensi pihak ketiga, walaupun tanpa ada perjanjian yang mendahuluinya, maka sidang arbitrase akan menerima untuk memeriksa dan mengadili perkara dengan pertimbangan bahwa arbitarse berkewenangan karena adanya kesepakatan para pihak atau karena tidak adanya keberatan para pihak. Tentu saja menarik pihak ketika dengan persetujuan seluruh pihak terkait atau kehadiran pihak intervensi tanpa adanya keberatan dari pihak pertama atau kedua merupakan masalah yang seringkali tidak sederhana. Pada akhirnya, satu hal yang pasti, bahwa arbitrase adalah pilihan. Dan tentu saja, Pilihan terbaik dari seluruh pilihan hukum adalah berdamai. (by: Setia Dharma, S.H.)