Oleh: Setia Dharma, S.H.
Penyebutan mengenai tanah negara kerap
kali kita dengar dilontarkan oleh berbagai pihak, namun apakah mereka yang
menggunakan istilah tersebut dalam pengucapannya memang benar mengerti makna
dari ‘tanah negara’ atau hanya menggunakan sebagai istilah yang sering didengar
tanpa benar-benar memahami makna dan filosofinya. Sangat disayangkan apabila
pengucapan mengenai tanah negara sering dilontarkan namun tidak difahami secara
mendalam maknanya, sehingga sangat berpotensi melukai hak-hak rakyat.
Kekeliruan dalam memahami makna dari keberadaan istilah ‘tanah negara’ akan
menimbulkan dampak sosial dan yuridis yang parah dalam tatanan masyarakat dan
hukum. Oleh karenanya perlu dipahami secara keseluruhan makna serta sejarah dari
penggunaan istilah tanah negara yang di kenal di Indonesia, agar tidak menjadi
senjata bagi penguasa yang lalim, agar tidak menimbulkan perampasan hak rakyat
yang seharusnya dilindungi oleh negara dan diakui oleh hukum.
Indonesia secara yuridis telah mengatur
dengan jelas mengenai tanah bagi bangsanya, atau mengenai tanah bagi rakyatnya,
sejak pertama membangun negara sebagai negara merdeka, Indonesia telah
memutuskan untuk mengatur mengenai tanah yang dihak-i oleh rakyatnya dan
bagaimana mereka dapat memilikinya tanpa harus terusir dengan dalil-dalil ala
penjajahan. Namun pada perkembangannya, dengan terbatasnya pengetahuan penguasa
mengenai tanah dan enggannya untuk mempelajari tanah dan maknanya bagi
kesejahteraan rakyat, negara justru menjajah dengan menggunakan istilah-istilah
lama yang sudah tidak relevan digunakan oleh Bangsa Indonesia, yakni “tanah
negara”.
Penekanan istilah tanah negara pada
tanah-tanah yang ditempati dan dikuasai sah oleh rakyat menciderai nilai-nilai
keadilan, dan itu arti juga menciderai hukum itu sendiri karena pada
prinsipnya, hukum tidak dapat dipisahkan dari norma keadilan, karena hukum
adalah pengejewantahan dari prinsip-prinsip keadilan. Kebijakan Pertanahan
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan salah satu kebijakan yang
sepenuhnya harus memiliki keberpihakan yang utuh kepada masyarakat demi
menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan tanah merupakan bagian utama dalam
kebijakan pertanahan yang keberadaannya sangat tergantung pada kemapanan sistem
dalam suatu pemerintahan, serta kemapanan pengetahuan pemerintah dan penegak
hukum.
Pemilikan,
penguasaan dan pemanfaatan tanah sejatinya harus sejalan dengan cita-cita luhur
kebijakan pertanahan Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang No.5 tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang dalam pertimbangannya menyatakan
bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana cita-cita Bangsa
Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI
tahun 1945 tidak ditemukan istilah tanah negara, tetapi dikenal istilah tanah
dikuasai oleh negara sebagaimana Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan Air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Begitupula halnya dalam
Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
dikenal dengan sebutan UUPA tidak dikenal istilah tanah negara. Namun terdapat
pengaturan dalam Pasal 2 UUPA yang dibentuk berdasarkan Pasal 33 ayat (3), yang
berbunyi sebagai berikut:
(1)
Atas
dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2)
(2)
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk :
a.
mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut;
b.
menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa,
c.
menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3)
Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti
kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
(4)
Hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan
Pasal 2 UUPA tersebut jelas diuraikan batasan hak menguasai negara, dimana
negara berdasarkan hak menguasainya memiliki kewenangan untuk mengatur,
menyelenggarakan dan menetapkan semua hal terkait pertanahan, baik peruntukan,
penggunaan, kepemilikan dan hubungan dalam pertanahan, serta atas dasar hak
menguasainya itu pula, negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan
kewenangannya dengan tujuan mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam
arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara
Hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
Sebagaimana
diketahui, Pasal 33 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 juga memuat istilah ‘dikuasai
oleh negara’. Adapun bunyi Pasal 33 ayat (2) adalah sebagai berikut: “cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak
dikuasai oleh negara”. Namun Pasal 33 ayat (2) ini memiliki arti yang berbeda
dari ketentuan Pasal 33 ayat 3. Istilah dikuasai oleh negara dalam Pasal 33
ayat (2) diartikan sebagai ‘dimiliki’ dan ‘dikelola’ oleh negara secara
langsung, yang sekarang dalam bentuk BUMN. Sementara itu, makna “dikuasai oleh
negara” dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3)
sebagaimana dijelaskan oleh Pasal 2 UUPA, sebagai “Hak Menguasai Negara”, yang
sesuai dengan penjelasan Umum UUPA, istilah “dikuasai” dalam pasal ini tidak
berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada
Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia.
Perbedaan
makna “dikuasai oleh negara” seperti dimuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI dan
UUPA dengan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 ini, serta ditambah pula dengan keterbatasan
pengetahuan yang disertai keengganan untuk mengkaji lebih dalam mengenai ini oleh
Penyelenggara Negara sering menimbulkan salah persepsi bagi para penyelenggara
negara, yang memandang bahwa hak menguasai negara atas tanah sama dengan hak
negara atas cabang produksi yang diurus oleh Badan Usaha Milik Negara, yakni
diartikan sebagai milik negara, yang kemudian disebut-sebut dengan istilah “tanah
negara”.
Penyebutan istilah ‘tanah negara’
yang demikian mengakibatkan banyak hak-hak rakyat yang terampas oleh hukum
melalui aturan-aturan di bawah undang-undang yang dibuat oleh penyelenggara
negara yang tidak mengerti mengenai istilah ‘tanah negara’. Mereka secara tekstual mengartikan tanah
negara sebagai “tanah milik negara” yang dapat diambil begitu saja dari
masyarakat yang menempati secara sah dan telah hidup bertahun-tahun di atas
tanah tersebut hanya karena secara formal tidak dapat membuktikan surat-surat
kepemilikan hak atas tanah tersebut.
Hal-hal
tersebut mengingatkan kita pada zaman penjajahan dimana Belanda membuat aturan,
bahwa sepanjang masyarakat yang menempati tanah tidak dapat membuktikan bahwa
tanah tersebut sebagai tanah miliknya, maka tanah tersebut diambil dan
dinyatakan sebagati tanah negara. Namun, sejak tahun 1960 hingga hari ini
Politik pertanahan yang dilakukan pada zaman Belanda tersebut telah di hapuskan
dengan lahirnya UUPA, tapi praktek politik pertanahan zaman Belanda tersebut
nyatanya masih berjalan hingga hari ini, walaupun Bangsa Indonesia telah
membentuk negara selama 71 tahun.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar